TRIBUNNEWS.COM - Mantan pejabat intelijen Arab Saudi, Saad al-Jabri menuding Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) pernah sesumbar akan membunuh raja yang menjabat sebelum ayahnya.
Hal ini diungkapkan Saad al-Jabri melalui wawancara ekskusif dalam program 60 Minutes di CBS yang tayang pada Minggu (24/10/2021).
Al-Jabri yang kini tinggal di pengasingan di Kanada itu mengklaim bahwa pada 2014, Pangeran MBS sesumbar bahwa dia bisa menghabisi Raja Abdullah.
Dilansir AP News, saat itu Pangeran MBS belum memiliki peran penting karena ayahnya Salman bin Abdulaziz masih menjadi pewaris takhta.
Diketahui Raja Salman naik takhta pada 2015 setelah saudara tirinya, Raja Abdullah meninggal dunia karena sebab yang wajar.
Baca juga: Mengaku Ditargetkan untuk Dibunuh, Eks Intel Sebut Pangeran MBS Tak Punya Empati
Baca juga: Kemenag: Nota Diplomatik Arab Saudi Belum Beberkan Detail Persyaratan Umrah Jemaah Indonesia
Dikatakan al-Jabri, dalam sebuah pertemuan dengan Pangeran Mohammed bin Nayef pada 2014, Pangeran MBS mengatakan dia bisa membunuh Raja Abdullah untuk mempercepat sang ayah naik takhta.
"Dia mengatakan kepadanya, 'Saya ingin membunuh Raja Abdullah. Saya mendapatkan cincin racun dari Rusia'."
"'Cukup bagi saya untuk berjabat tangan dengannya dan dia akan selesai,'" kata al-Jabri menirukan ucapan Pangeran MBS dalam wawancara.
Pria 62 tahun ini mengklaim intelijen Saudi saat itu menanggapi hal ini sebagai ancaman serius.
Bahkan, klaim al-Jabri, masalah ini ditangani keluarga kerajaan.
Lebih lanjut al-Jabri mengatakan, rekaman video pertemuan itu masih ada.
Sebelumnya, mantan pejabat intel ini juga menyebut Putra Mahkota Saudi tidak akan beristirahat sampai melihatnya mati karena takut dengan informasi yang dia miliki.
"Saya kira saya akan dibunuh suatu hari karena orang ini (MBS) tidak akan beristirahat sampai dia melihat saya mati," ujarnya.
Al-Jabri juga menggambarkan Pangeran Mohammad bin Salman sebagai "seorang psikopat, pembunuh".
Ini merupakan wawancara pertama al Jabri setelah putranya Omar al-Jabri (23) dan putrinya Sarah al-Jabri (21) ditahan di Riyadh pada Maret 2020.
Menantunya juga dilaporkan diculik untuk dibawa paksa ke Arab Saudi dan disiksa hingga ditahan.
Pengadilan Saudi menghukum kedua anak al-Jabri masing-masing sembilan dan enam setengah tahun penjara, karena pencucian uang dan secara tidak sah berusaha melarikan diri dari Arab Saudi, menurut kelompok hak asasi.
Pemerintah Saudi mengatakan kepada CBS News bahwa al-Jabri adalah mantan pejabat pemerintah yang didiskreditkan karena kerap menyebarkan kebohongan untuk menutupi dugaan kejahatan keuangan yang menjeratnya.
Sebelumnya, otoritas Saudi telah mengeluarkan permintaan ekstradisi dan pemberitahuan Interpol untuk al-Jabri karena kasus dugaan korupsi.
Namun al-Jabri mengklaim kekayaannya berasal dari kemurahan hati keluarga kerajaan yang dia layani.
Dilansir Reuters, Saad al-Jabri sebelumnya menjabat sebagai ajudan untuk Pangeran Mohammed bin Nayef, yang digulingkan Pangeran MBS sebagai pewaris takhta dalam kudeta istana pada 2017.
Baca juga: Saudi-Iran Gelar Negosiasi Rahasia, Pangeran MBS Ingin Bersahabat dengan Teheran
Baca juga: Kemenag: Sistem Umrah Satu Pintu untuk Bangun Kepercayaan Arab Saudi
Pada Agustus 2019, al-Jabri mengajukan gugatan di pengadilan AS yang menyeret nama Pangeran MBS.
Dalam gugatan tersebut, putra mahkota Saudi itu dikatakan mengirim Tiger Squad untuk membunuhnya pada Oktober 2018.
Namun rencana itu gagal karena agen perbatasan Kanada tidak mengizinkan mereka masuk.
Diketahui laporan pembunuhan berencana kepada Jabri terjadi beberapa hari setelah pembunuhan Jamal Khashoggi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)