TRIBUNNEWS.COM - Putri Mako dari Jepang, serta pasangannya Kei Komuro, hanya akan memberikan sambutan di konferensi pers setelah mendaftarkan pernikahan mereka hari ini, Selasa (26/10/2021).
Keduanya akan memberikan jawaban tertulis dari media yang sudah mengajukan pertanyaan sebelumnya.
Kabar tersebut disampaikan oleh Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang, Senin (25/10/2021), seperti yang dilansir Mainichi.
Keputusan itu dibuat karena Putri Mako menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) kompleks.
Putri merasa kegelisihan yang besar hanya dengan membayangkan harus menjawab pertanyaan wartawan secara langsung, ujar Badan Rumah Tangga Kekaisaran.
Baca juga: Pertemuan Terakhir Putri Mako Dengan Kaisar Kehormatan Jepang sebagai Anggota Kekaisaran
Baca juga: Masyarakat Jepang Demo Menentang Perkawinan Putri Mako dengan Kei Komuro
Putri Mako dan Kei Komuro akan meninggalkan venue setelah mendistribusikan jawaban mereka yang telah disiapkan untuk pertanyaan media.
Badan Rumah Tangga Kekaisaran meminta organisasi media milik klub pers mereka, serta Asosiasi Penerbit Majalah Jepang dan media asing, untuk mengajukan pertanyaan terlebih dahulu untuk konferensi pers.
Format pertanyaan juga disepakati setelah berkonsultasi dengan dokternya.
Hubungan Putri Mako dan Kei Komuro yang Penuh Kontroversi
Putri Mako, keponakan Kaisar Jepang Naruhito akan menikah dengan Kei Komuro pada Selasa, 26 Oktober 2021 setelah berpacaran beberapa tahun.
Namun, hubungan mereka tidak selalu berjalan mulus.
Dilansir CNN.com, sejak mengumumkan pertunangan pada tahun 2017, Putri Mako dan Kei Komuro seringkali terlibat dalam skandal, penolakan publik, dan kontroversi lainnya.
Beberapa orang Jepang menganggap anak biasa dari orang tua tunggal, tidak cocok untuk seorang putri.
Putri Mako, yang baru saja menginjak usia 30 tahun pada Sabtu (23/10/2021), dibesarkan dalam aturan-aturan rumah tangga Kekaisaran.
Sebagai seorang anak, cucu sulung dari mantan kaisar dan permaisuri, Mako dengan cepat memenangkan hati publik.
"Sikapnya sempurna. Orang-orang memandangnya sebagai bangsawan yang sempurna," kata Mikiko Taga, seorang jurnalis kerajaan Jepang.
Putri Mako harusnya berkuliah di Universitas Gakushuin swasta dengan anggota elit kaya lainnya.
Tetapi dia memilih untuk belajar seni dan warisan budaya di Universitas Kristen Internasional di Tokyo.
Di sanalah dia bertemu Komuro, seorang pria yang lahir hanya tiga minggu sebelum dirinya, dari keluarga yang jauh lebih sederhana.
Dibesarkan oleh seorang ibu tunggal, Komuro kehilangan ayah dan kedua kakek-neneknya di usia muda, menurut laporan media setempat.
Setelah lulus dari Universitas Kristen Internasional Tokyo pada tahun 2014, Komuro bekerja di sebuah firma hukum di Tokyo.
Ia lalu mendapatkan beasiswa untuk belajar hukum di Fordham School of Law di New York.
Sementara itu, pendidikan Putri Mako membawanya ke arah lain.
Pada tahun 2014, ia menjalani pendidikan di Universitas Leicester di Inggris sebagai siswa pertukaran sebelum lulus dengan gelar master dalam studi museum dan galeri seni.
Tak lama setelah itu, Mako dan Komuro bersatu kembali.
Pada 2017, mereka mengumumkan pertunangan mereka kepada publik Jepang.
Dalam konferensi pers, sang putri mengatakan dia jatuh cinta dengan "senyum cerah seperti matahari" Komuro.
Ia juga telah menyadari dari waktu ke waktu bahwa Komuro adalah sosok yang "tulus, berpikiran kuat, pekerja keras dengan hati yang besar."
Media Jepang menjulukinya "Pangeran Laut," diambil dari karakter yang ia mainkan dalam kampanye wisata pantai untuk kota Fujisawa, selatan Tokyo.
Semua tampak baik-baik saja, tetapi kemudian muncul masalah.
Pasangan itu telah merencanakan pernikahan pada tahun 2018.
Tetapi pernikahan mereka diundur.
Rumah tangga Kekaisaran mengatakan penundaan itu karena "kurangnya persiapan."
Tetapi muncul kabar lain bahwa ibu Komuro tidak membayar kembali uang $36.000 yang dia pinjam dari mantan tunangannya.
Komuro membantah klaim tersebut, bahkan merilis pernyataan setebal 28 halaman awal tahun ini.
Ia menyatakan bahwa ibunya percaya uang itu adalah hadiah dan Komuro akan membayar untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Tapi gosip di tabloid semakin membedah setiap aspek keluarga dan hidup mereka.
Beberapa laporan bahkan menyebut Komuro sebagai pria materaialistis yang tidak dapat dipercaya.
Pertemuan yang Tak Biasa
Pertemuan kebetulan di universitas bukanlah jalan "normal" menuju pernikahan bagi seorang bangsawan Jepang.
Kaori Hayashi, seorang ahli studi media dan wakil presiden eksekutif dari Universitas Tokyo, mengatakan pasangan kerajaan biasanya dipilih dengan hati-hati dari kalangan tradisional yang bersosialisasi dengan keluarga Kekaisaran.
Selain itu, di Jepang, persepsi bahwa ibu tunggal tidak mampu membesarkan anak dengan benar, masih ada, ungkap Hitomi Tonomura, pakar studi gender dari University of Michigan.
"Di Jepang, ada juga misogini, di mana seorang ibu tunggal biasanya dibenci atau direndahkan secara moral dan ekonomi," tambah Tonomura.
"Ada semacam peran tradisional yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin untuk pria dan wanita yang dimainkan tidak hanya di keluarga kerajaan, tetapi di banyak institusi di sini," kata Nancy Snow, seorang profesor diplomasi publik di Kyoto University of Foreign Studies.
Dugaan masalah keuangan ibu Komuro telah mencemari citra royalis yang bersemangat tentang rumah kerajaan, yang idealnya harus tampak murni secara simbolis dan ada untuk kesejahteraan spiritual orang Jepang, kata Tonomura.
Tekanan Kehidupan Kekaisaran
Spekulasi dan cercaan selama bertahun-tahun telah menekan Putri Mako.
Awal bulan ini, istana mengungkapkan bahwa Putri Mako menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Sang putri "merasa pesimis dan sulit untuk merasa bahagia karena ketakutan yang terus-menerus akan hidupnya hancur," kata psikiater Putri Mako, Tsuyoshi Akiyama, direktur NTT Medical Center Tokyo, kepada media di Badan Rumah Tangga Kekaisaran.
Sang putri bukanlah wanita Jepang pertama dari keluarga kerajaan yang merasakan tekanan kehidupan Kekaisaran.
Permaisuri Jepang, Masako menikahi Kaisar Naruhito pada 1993, meninggalkan karir diplomatik tingkat tinggi seumur hidup di rumah tangga kerajaan.
Transisi itu sulit bagi Masako, yang telah lama berjuang melawan penyakit yang oleh para dokter digambarkan sebagai "gangguan penyesuaian".
"Setiap kasus anggota keluarga kerajaan yang berjuang dengan penyakit mental melibatkan keadaan yang berbeda," kata Ken Ruoff, direktur Pusat Studi Jepang di Universitas Negeri Portland dan penulis "Rumah Kekaisaran Jepang di Era Pascaperang, 1945- 2019."
"Dalam kasus Putri Mahkota Masako, hampir seluruhnya berkisar pada dirinya yang disalahkan karena tidak menghasilkan ahli waris laki-laki yang diperlukan," tambahnya.
"Soal kasus Putri Mako, itu sepenuhnya berkisar pada pernikahannya yang menjadi sasaran pengawasan yang hanya dilakukan oleh beberapa pernikahan, terutama ketika Anda mempertimbangkan bahwa dia akan keluar dari rumah kerajaan segera setelah resmi menikah."
Di bawah hukum Jepang, anggota keluarga kerajaan harus menyerahkan gelar mereka dan meninggalkan istana jika mereka menikah dengan orang biasa.
Karena hanya ada 18 anggota keluarga Kekaisaran, Putri Mako bukanlah yang pertama pergi.
Anggota kerajaan terakhir yang melakukannya adalah bibinya, Sayako, satu-satunya putri Kaisar Akihito.
Sayako menikahi perencana kota Yoshiki Kuroda pada 2005.
Sebagai seorang wanita, Putri Mako tidak berada di garis takhta -- hukum suksesi khusus pria Jepang mencegah hal itu terjadi.
Perannya dalam kehidupan kerajaan adalah untuk mendukung kerabat laki-lakinya.
Sebagai seorang bangsawan yang akan pergi, Putri Mako berhak atas uang satu juta dolar, tetapi dalam upaya untuk menenangkan publik yang tidak setuju, dia telah memutuskan untuk mengabaikannya.
Setelah pernikahan, dia akan pindah ke New York City di mana Komuro bekerja di sebuah firma hukum.
"Ini adalah jalan keluar yang dramatis," kata Ruoff.
"Ini peringatan untuk keluarga Kekaisaran. Maksudku, dia jelas sudah muak."
Dibandingkan dengan Meghan Markle-Pangeran Harry
Mundurnya Putri Mako dan Komuro dari sorotan kerajaan kerap dibandingkan dengan pasangan kerajaan terkenal lainnya - Meghan Markle dan Pangeran Harry.
Pertunangan Markle dengan Pangeran Harry dari Inggris memicu kontroversi ketika pertama kali diumumkan pada November 2017.
Beberapa orang percaya bahwa aktris Amerika yang bercerai dan biracial tidak memiliki tempat dalam keluarga kerajaan Inggris.
Seiring waktu, liputan tabloid Inggris tentang pasangan itu menjadi sangat toxic sehingga Harry mengeluarkan pernyataan pada November 2016.
Ia mengutuk "gelombang pelecehan" yang harus dialami Meghan.
Akhirnya, pasangan itu meninggalkan keluarga kerajaan Inggris pada Januari 2020.
Tetapi sementara kepergian Putri Mako yang "dramatis" dari keluarga kerajaan agak sebanding dengan "Megxit" - istilah untuk kepergian pasangan Inggris itu - Ruoff, sejarawan, mengatakan kesamaan mereka sampai di situ saja.
"Anggota keluarga kerajaan Inggris tumbuh di antara kekayaan besar. Dan mereka juga menghabiskan banyak waktu secara langsung mengumpulkan uang untuk berbagai tujuan amal, jadi ketahuilah cara kerjanya."
"Jadi ketika Harry dan Meghan pergi ke AS, dengan menceritakan berbagai kisah tentang keluarga kerajaan, mereka berhasil menghasilkan jutaan dolar, sambil menggantungkan diri mereka pada tujuan sayap kiri yang menyenangkan," kata Ruoff.
"Saya memperkirakan hampir tidak mungkin Mako dan calon suaminya akan berperilaku seperti itu setelah mereka menikah."
"Bahkan, saya pikir apa yang akan terjadi adalah mereka akan menghilang begitu saja."
Menurut Taga, jurnalis urusan kerajaan, hari-hari di mana seseorang meminta seseorang lainnya untuk menjalani tugas yang dibebankan sejak lahir akan segera berakhir.
"Itulah mengapa saya pikir penting bahwa dua bangsawan berbeda dari Timur dan Barat memilih untuk hidup seperti yang mereka inginkan," katanya.
"Ini adalah awal dari era baru."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)