UE sebelumnya telah memberlakukan tidak kurang dari empat putaran sanksi terhadap Belarusia sejak Oktober 2020, setelah UE menuduh Minsk mencurangi pemilihan presiden 2020 dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap pengunjuk rasa dan aktivis pro-demokrasi.
Brussels sejauh ini menargetkan 166 orang dan 15 entitas dengan sejumlah tindakan termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan.
Putaran sanksi terakhir menyusul dugaan pembajakan pesawat Ryanair pada Mei 2021.
Di sisi lain, Minsk telah membantah tuduhan itu dan Presiden Alexander Lukashenko tetap berkuasa.
Apakah Sanksi Kali Ini akan Membuat Perubahan?
Bagi Francesco Giumeli, seorang profesor Hubungan Internasional di Universitas Groningen dan seorang ahli sanksi Uni Eropa, langkah-langkah sanksi ini telah menandakan solidaritas di dalam blok UE.
"Fakta bahwa Uni Eropa benar-benar dapat mengirim sinyal sudah merupakan tanda persatuan," katanya kepada DW.
Pandangan positif itu digaungkan oleh seorang pejabat Polandia yang berbicara dengan DW selama pembicaraan hari Senin.
"Kediktatoran dapat dengan mudah bertahan dari sanksi karena mereka menanggung semua biaya sanksi itu pada masyarakat mereka. Tetapi sekarang di Belarus, ada saat di mana ini tidak mungkin lagi," katanya.
"Itulah mengapa saya pikir mereka akan sangat membantu."
Tetapi dengan Alexander Lukashenko yang masih berkuasa dan Minsk menyangkal melakukan kesalahan, ada keraguan apakah sanksi terbukti efektif.
Sebelumnya pada bulan Juni, mantan Menteri Luar Negeri dan Pertahanan Lithuania Linas Linkevicius menulis di Carnegie Europe:
"Untuk menjawab pertanyaan secara langsung dan singkat, sanksi tidak akan mengubah Lukashenko sendiri, karena dia telah melampaui semua batas yang mungkin dan tidak berniat untuk kembali ke taktik biasa untuk menyeimbangkan antara Rusia dan Barat."
Pada bulan November ia menulis di Twitter: