TRIBUNNEWS.COM – Perusahaan pembuat vaksin Covid-19, Pfizer dan Moderna, kini sedang mengembangkan vaksin dan vaksin booster untuk menangani varian Omicron yang dikhawatirkan sangat menular.
CEO Moderna, Stephane Bancel, Senin (29/11/2021) mengatakan, bahwa varian omicron tampaknya lebih menular daripada varian Delta.
Ia menilai, tingginya jumlah mutasi pada omicron berarti bahwa semua vaksin mungkin kurang efektif.
"Kami percaya virus ini sangat menular ... tampaknya jauh lebih menular daripada delta," kata Bancel kepada CNBC.
Dia memperkirakan bahwa negara mana pun yang telah menerima pelancong dari negara-negara Afrika selatan dalam 7-10 hari terakhir sekarang kemungkinan memiliki varian Omicron.
Baca juga: Pfizer: Vaksin Baru Siap dalam 100 Hari Jika Varian Covid-19 Omicron Kebal Terhadap Vaksin Saat Ini
Baca juga: Moderna Sebut Vaksin Covid-19 untuk Varian Omicron akan Siap Awal Tahun 2022
“Sangat mungkin kemanjuran vaksin – semuanya – akan turun,” ujarnya.
Bancel mengatakan akan membutuhkan setidaknya beberapa minggu sebelum komunitas ilmiah dapat menjawab tentang kemanjuran vaksin dengan lebih baik, dan di mana saja dari 2 hingga 6 minggu sampai mereka tahu apakah Omicron lebih ganas daripada Delta.
Ia mengatakan, Moderna sedang mengerjakan vaksin booster untuk mengatasi varian baru ini.
Dalam beberapa minggu, Bancel mencatat, perusahaan akan tahu strategi mana yang harus dikejar - dosis vaksin yang lebih tinggi saat ini, atau booster, atau vaksin baru untuk mengatasi varian tersebut.
Hal senada disampaikan CEO Pfizer, Albert Bourla, bahwa pihaknya kini mengerjakan vaksin Covid-19 yang khusus menargetkan varian Omicron, jika vaksin saat ini tidak efektif terhadap strain baru.
Baca juga: Pfizer, BioNTech dan Moderna Raup Pendapatan 1.000 Dolar AS Per Detik dari Jualan Vaksin Covid-19
Baca juga: Fakta-fakta Varian Omicron Menurut Analisis WHO, Apakah Lebih Mudah Menyebar? Ini Penjelasannya
Albert Bourla, mengatakan kepada CNBC, Senin (29/11/2021) bahwa perusahaannya pada hari Jumat (26/11/2021) mulai menguji vaksin saat ini terhadap varian Omicron.
Omicron pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan dan telah menimbulkan kekhawatiran akan gelombang global infeksi Covid-19.
“Saya pikir hasilnya bukanlah vaksin yang tidak melindungi,” ujarnya.
Menurutnya, pengujian dapat menunjukkan bahwa vaksin ini tak banyak melindungi.
“Ini berarti kita perlu membuat vaksin baru,” kata Bourla, seperti dilansir dari Alarabiya.
Baca juga: Varian-varian Covid-19 yang Telah Terdeteksi, Berikut Perbedaan Omicron dengan Varian Lainnya
Baca juga: Kebijakan Tutup Pintu Internasional Dinilai Tepat Cegah Varian Omicron
“Jumat kami membuat template DNA pertama kami, yang merupakan kemungkinan pertama dari proses pengembangan vaksin baru,” katanya.
Bourla menyamakan situasi dengan skenario awal tahun ini ketika Pfizer dan mitra Jermannya BioNTech mengembangkan vaksin dalam 95 hari.
Ketika itu, katanya, ada kekhawatiran bahwa formula sebelumnya tidak akan bekerja melawan Delta, meskipun versi itu pada akhirnya tidak digunakan.
Menurutnya, vaksin saat ini sangat efektif terhadap Delta. Perusahaannya berharap dapat memproduksi empat miliar dosis vaksin pada tahun 2022.
Johnson & Johnson juga mengatakan pada hari Senin (29/11/2021) bahwa “mereka mengerjakan vaksin varian khusus Omicron dan akan mengembangkannya sesuai kebutuhan.”
Baca juga: Dua Pasien Varian Omicron Covid-19 di Sydney, Berasal dari Afrika Selatan dan Transit di Singapura
Baca juga: Dokter Afrika Selatan yang Temukan Kasus Omicron Jelaskan Gejala Varian Ini, Lelah dan Nyeri Tubuh
Pada hari Senin (29/11/2021), Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan varian baru Covid-19 Omicron menimbulkan risiko sangat tinggi secara global.
Bourla mengatakan dia juga sangat yakin bahwa pil antivirus Pfizer yang baru-baru ini diluncurkan akan bekerja sebagai pengobatan untuk infeksi yang disebabkan oleh mutasi, termasuk Omicron.
Di antara pasien yang baru terinfeksi dan berisiko tinggi yang dirawat dalam waktu tiga hari sejak timbulnya gejala, pil Pfizer telah terbukti mengurangi rawat inap atau kematian hingga hampir 90 persen. (Tribunnews.com/CNBC/Alarabiya/Hasanah Samhudi)