TRIBUNNEWS.COM - Seorang jurnalis ditembak hingga tewas saat sedang menonton TV di toko keluarganya di Calbayog, Filipina, AP News melaporkan.
Jesus Malabanan (58) terkena tembakan di kepala satu kali.
"Jess" meninggal dunia saat perjalanan ke rumah sakit.
Ia ditembak pada Rabu (8/12/2021) malam oleh seorang pria yang berboncengan motor dengan rekannya.
Kedua pelaku tersebut melarikan diri dan kini polisi tengah menyelidiki kasus tersebut.
Berkontribusi terhadap Penyelidikan Narkoba
Dilansir Al Jazeera, sebagai jurnalis independen, Jesus Malabanan menyumbangkan berita ke beberapa publikasi yang berbasis di Filipina serta kantor berita Reuters.
Baca juga: 7,6 Juta Orang Filipina Divaksin dalam Waktu 3 Hari, Duterte Menuntut Lebih Banyak Lagi
Baca juga: 5 Negara Berhasil Kendalikan Kasus Covid-19, Ada Filipina hingga Indonesia
Malabanan juga membantu dalam penyelidikan pemenang Hadiah Pulitzer Reuters soal perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte.
Dalam sebuah posting media sosial, jurnalis Manny Mogato, yang juga merupakan bagian dari tim Reuters yang memenangkan Penghargaan Pulitzer 2018 dalam Pelaporan Internasional, menulis bahwa Malabanan banyak membantu Reuters dalam kisah perang narkoba pada 2018.
Laporan mengatakan Malabanan telah diancam di kampung halamannya di Pampanga di utara.
Sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Samar di Filipina tengah.
"Saya bergabung dengan sesama jurnalis mengutuk pembunuhan Jess… itu sama sekali tidak dapat diterima. Keadilan untuk Jess," tambah Mogato.
Serangkaian cerita penyelidikan Reuters itu mengungkap "kampanye pembunuhan brutal di balik perang Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap narkoba", menurut kutipan Pulitzer.
Tim Reuters melaporkan peran petugas polisi Davao dalam penggerebekan narkoba mematikan di Manila, serta penggunaan rumah sakit untuk menyembunyikan pembunuhan narkoba.
Perang narkoba oleh Duterte, yang menewaskan ribuan tersangka tersangka kelas teri, kini menjadi subjek penyelidikan oleh Pengadilan Kriminal Internasional.
Bukan Jurnalis Pertama yang Tewas
Dilansir AP News, sebuah badan perlindungan media yang dibentuk oleh Presiden Rodrigo Duterte mengutuk keras pembunuhan itu dan berjanji akan menangkap para pembunuh.
Tetapi Duterte sendiri telah lama berada di garis bidik pengawas media dan kelompok hak asasi manusia.
Kelompok-kelpompok itu telah berulang kali mengutuk Duterte karena melepaskan pasukan polisi yang melakukan tindakan kerasnya terhadap pelaku pemakai obat-obatan terlarang dan menyebabkan ribuan tersangka tewas.
Baca juga: Presiden Duterte: Ada Pengguna Kokain di Antara Kandidat Pemilihan Presiden Filipina
Baca juga: Seorang Tersangka Pembunuh Jurnalis Khashoggi Ditangkap di Prancis
Puluhan wartawan telah terbunuh atau diserang di bawah kepemimpinan Duterte dan para pendahulunya.
Pada tahun 2009, anggota klan politik yang kuat dan rekan mereka menembak mati 58 orang, termasuk 32 pekerja media, dalam serangan gaya eksekusi di provinsi Maguindanao selatan.
Pembunuhan massal itu kemudian dikaitkan dengan persaingan pemilu yang diwarnai kekerasan yang biasa terjadi di banyak daerah pedesaan.
Namun aksi itu juga menunjukkan ancaman yang dihadapi oleh para jurnalis di Filipina.
Kelimpahan senjata tanpa izin dan tentara swasta yang dikendalikan oleh klan yang kuat dan penegakan hukum yang lemah di daerah pedesaan adalah salah satu masalah keamanan yang dihadapi wartawan Filipina.
32 dari mereka yang ditembak mati di kota Ampatuan, Maguindanao adalah wartawan lokal dan pekerja media.
Pengadilan Filipina memutuskan anggota kunci keluarga yang bersalah atas pembunuhan massal pada 2019, tetapi masih banyak lagi tersangka yang masih buron.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)