Amerika Serikat memberikan bagian terbesar dari pendanaan.
Pada tahun 1950, NATO mulai membentuk kekuatan militer terpadu di Eropa di bawah komando Jenderal Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower.
Langkah itu menetapkan bahwa pemimpin militer NATO adalah orang Amerika, sedangkan pemimpin politiknya adalah orang Eropa.
Pada tahun 1955, Jerman Barat, negara terpadat di Eropa Barat, diterima di NATO.
Bergabungnya Jerman Barat membuat Uni Soviet khawatir, yang kemudian membuat Pakta Warsawa, aliansi keamanan yang terdiri dari satelit-satelit Soviet di Eropa timur.
Selama periode kedua NATO (1955–1967), Pakta Warsawa menekankan pembangunan kekuatan militer.
Senjata nuklir adalah dasar dari sistem pertahanan NATO.
Hal itu dikarenakan karena tingginya biaya penempatan sejumlah besar pasukan Amerika Serikat di Eropa dan juga karena keunggulan nuklir Amerika pada tahap awal Perang Dingin.
Penumpukan nuklir NATO dipandang sebagai pencegah perang karena meyakinkan bahwa serangan Soviet dapat dibalas dengan respons nuklir yang besar.
Aliansi itu sedikit melemah pada tahun 1956 setelah Prancis dan Inggris tidak berhasil mencoba merebut kembali Terusan Suez dari Mesir—sebuah serangan yang dikritik keras oleh Amerika Serikat.
Pada tahun 1966, pemerintah Prancis yang khawatir Amerika Serikat terlalu mendominasi aliansi, menarik diri dari kekuatan militer terpadu NATO, meskipun tetap menjadi anggota NATO dan berjanji untuk membantu mengusir invasi yang tidak beralasan.
Prancis melanjutkan posisinya di komando militer NATO pada tahun 2009.
Selain itu, banyak yang mempertanyakan peran NATO, dan beberapa percaya bahwa NATO telah melampaui kegunaannya.
Fase ketiga dari sejarah NATO (1967–79) adalah era détente, sebuah kata dalam bahasa Prancis yang berarti “meredakan ketegangan.”
Fase ini adalah waktu peningkatan kerjasama dan perdagangan dengan Uni Soviet dan penandatanganan perjanjian pembatasan senjata strategis yang dikenal sebagai SALT I dan SALT II.
Namun, beberapa jenis rudal baru juga dikerahkan selama periode ini.
Détente secara definitif berakhir pada tahun 1979, ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan, menyebabkan banyak anggota NATO percaya bahwa ekspansionisme Soviet telah dimulai lagi.
Periode keempat dalam sejarah Perang Dingin NATO adalah masa meningkatnya ketegangan internasional.
Amerika Serikat membantu pemberontak Afghanistan dan memindahkan pasukan ke Laut Mediterania dan Teluk Persia karena kekhawatiran akan tindakan Soviet lebih lanjut.
Uni Soviet mempertahankan situs rudal nuklir di Eropa timur, dan NATO menanam rudal nuklir baru di Eropa barat.
Amerika Serikat dan Uni Soviet mengirimkan bantuan militer dalam jumlah besar kepada pasukan lawan di Amerika Tengah, Afrika, dan wilayah lain untuk mendanai perang saudara.
Selain itu, banyak orang di seluruh dunia merasa bahwa fokus baru pada senjata strategis meningkatkan risiko perang nuklir, baik dalam skala global atau dalam perang Eropa yang terbatas.
Pada 1980-an, NATO tetap kuat secara militer, tetapi dilanda kontroversi dan masalah politik.
Banyak anggota Eropa enggan menerima senjata nuklir baru di tanah mereka, dan Amerika Serikat mengeluhkan biaya penempatan ratusan ribu tentaranya di Eropa.
Sementara itu, militer Amerika Serikat menghabiskan banyak uang untuk membangun kapal, pesawat terbang, dan rudal serta meneliti sistem pertahanan rudal yang disebut Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI), yang dijuluki Star Wars.
Banyak sekutu NATO berpendapat bahwa SDI akan melanggar perjanjian pengendalian senjata sebelumnya dan mempercepat perlombaan senjata.
Namun, pada akhir 1980-an, Perang Dingin mereda ketika Uni Soviet mulai runtuh.
Pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev mengizinkan kebebasan ekonomi dan politik yang lebih besar di blok Soviet, dan gerakan kemerdekaan anti-Soviet memperoleh kekuatan.
Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, dan Jerman yang bersatu kembali bergabung dengan NATO pada tahun 1990.
Pemerintah beberapa negara Pakta Warsawa jatuh atau direorganisasi menurut prinsip-prinsip nonkomunis, yang secara drastis mengubah keseimbangan politik dan militer antara Eropa timur dan barat.
Pada Juli 1990, pada Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa, para pemimpin NATO dan Pakta Warsawa menandatangani perjanjian pengendalian senjata utama dan menyatakan bahwa mereka tidak lagi bermusuhan.
Pakta Warsawa dibubarkan pada tahun 1991.
NATO Saat Ini
Setelah Perang Dingin, banyak analis politik kembali mempertanyakan tujuan NATO.
Namun, analis lain memperingatkan bahwa Rusia dapat kembali menjadi ancaman dan bahwa NATO mungkin diperlukan untuk melindungi negara-negara yang baru merdeka di Eropa timur.
Terlepas dari perdebatan semacam itu, NATO terus memberikan satu manfaat yang tidak dapat disangkal kepada anggotanya: kemampuan untuk berbagi sumber daya seperti senjata, persediaan, dan komunikasi.
NATO mengevaluasi kembali misinya ketika perang saudara dan pembersihan etnis meletus di bekas Yugoslavia pada awal 1990-an.
Pada satu kesempatan pada tahun 1994 dan beberapa kali pada tahun 1995, pesawat tempur NATO menyerang pasukan Serbia dan Bosnia Serbia, terutama di sekitar kota Sarajevo.
Setelah perjanjian damai Dayton 1995, puluhan ribu pasukan penjaga perdamaian NATO memasuki wilayah tersebut.
Pada tahun 1999 NATO melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap pasukan Serbia untuk melindungi etnis Albania (yang sebagian besar Muslim) di provinsi Kosovo.
Saat permusuhan berhenti, NATO mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menduduki provinsi tersebut.
Terorisme juga menjadi perhatian utama NATO di era pasca-Perang Dingin.
Setelah serangan teroris mematikan di Amerika Serikat pada 11 September 2001, NATO menggunakan Pasal 5 Perjanjian Atlantik Utara untuk pertama kalinya.
Anggota aliansi memberikan bantuan substansial kepada Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengejar al-Qaeda, kelompok teroris yang bertanggung jawab atas serangan itu, dan jaringan teroris internasional lainnya.
Karena sifat kontroversial dari invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, sejumlah anggota NATO enggan untuk berpartisipasi dalam perang dan pendudukan berikutnya negara itu.
Tanda yang paling terlihat dari perubahan NATO setelah Perang Dingin adalah peningkatan keanggotaannya.
Pada tahun 1994, pedoman militer, politik, dan ekonomi yang ketat diadopsi untuk NATO, termasuk dukungan untuk demokrasi dan kebijakan ekonomi pasar bebas.
Pada tahun 1999 tiga negara bekas Pakta Warsawa—Hongaria, Polandia, dan Republik Ceko—bergabung dengan NATO.
Tujuh negara bekas komunis bergabung pada tahun 2004: Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Rumania, Slovakia, dan Slovenia.
Albania dan Kroasia bergabung dengan aliansi pada 2009, dan Montenegro bergabung pada 2017.
NATO juga mulai berkonsultasi dengan negara-negara non-anggota melalui Kemitraan untuk Perdamaian, yang didirikan pada tahun 1994.
Program ini meningkatkan kerjasama di bidang keamanan dan pertahanan antara anggota NATO dan negara-negara non-NATO, termasuk Rusia, beberapa bekas sekutu Soviet, dan Swiss.
Dengan bekerja sama dengan negara-negara ini, NATO berusaha untuk mempromosikan stabilitas Eropa sambil menjangkau saingan yang pernah ada.
Kemitraan juga memungkinkan negara-negara untuk mempersiapkan keanggotaan NATO di masa depan dengan memperkenalkan mereka pada praktik militer dan politik NATO.
Hubungan kerjasama antara aliansi dan Rusia dilanjutkan dengan pembentukan Dewan NATO-Rusia pada tahun 2002.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)