Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, OTTAWA - Wali Kota Ottawa, ibu kota Kanada, Jim Watson mengumumkan keadaan darurat pada hari Minggu lalu saat ribuan demonstran menduduki pusat kota karena merasa keberatan terkait aturan pembatasan virus corona (Covid-19) di negara itu.
Aksi protes itu dipimpin oleh apa yang disebut sebagai Konvoi Kebebasan (Freedom Convoy) para pengemudi truk Kanada.
"Menyatakan keadaan darurat, mencerminkan bahaya dan ancaman serius terhadap keselamatan dan keamanan penduduk yang ditimbulkan oleh demonstrasi yang sedang berlangsung dan menyoroti perlunya dukungan dari yurisdiksi dan tingkat pemerintahan lain," kata Kantor Wali Kota Ottawa Jim Watson dalam sebuah pernyataan.
Dikutip dari laman Fortune.com, Selasa (8/2/2022), para demonstran dari seluruh negeri tiba di kota itu pada akhir pekan lalu, memulai apa yang digambarkan Departemen Kepolisian Ottawa sebagai 'pengepungan' di tengah aksi 'pemberontakan nasional'.
Watson kemudian mengatakan kepada wartawan lokal bahwa situasinya 'benar-benar di luar kendali' dan bahwa kota itu 'kalah jumlah' serta 'kalah dalam pertempuran ini'.
Baca juga: Protes Pengemudi Truk Lumpuhkan Kota di Kanada, Ottawa Deklarasikan Keadaan Darurat
Selain itu, ia menyampaikan bahwa para demonstran mengganggu kehidupan kota dengan terus-menerus membunyikan klakson dan sirene mereka serta menyalakan kembang api.
Gerakan Freedom Convoy yang telah mendapatkan dukungan dari Partai Republik AS, termasuk mantan Presiden Donald Trump, ditambah pula CEO Tesla Elon Musk, dimulai pada bulan lalu saat pengemudi truk berkumpul untuk memprotes aturan baru yang mewajibkan pengemudi truk lintas batas untuk divaksinasi atau tunduk pada aturan tes Covid-19 dan karantina.
Para demonstran kini berkemah di Ottawa, ada sekitar 500 pengemudi truk dengan taksi yang tidak beroperasi dan 18.000 pendukung yang tergabung dalam aksi ini.
Menurut perkiraan polisi, gerakan ini telah tumbuh untuk mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas terkait aturan pembatasan Covid-19 di Kanada.
Sebelumnya, Pemerintah Kanada tetap memberlakukan mandat penggunaan masker di seluruh wilayah negara itu dan beberapa provinsi bahkan memerlukan paspor vaksin untuk bisa masuk ke tempat-tempat seperti restoran.
Namun aturan pembatasan Covid-19 Kanada kontras dengan tren yang diterapkan di negara-negara Eropa seperti Denmark dan Inggris, di mana pemerintah telah mencabut aturan pembatasan Covid-19 dan mengadopsi kebijakan 'hidup berdampingan dengan virus'.
Kanada yang memiliki populasi 38 juta, telah melaporkan lebih dari 3 juta kasus Covid-19 dan 34.000 kematian akibat virus itu sejak pandemi dimulai.
Namun angka per kapitanya jauh lebih rendah dibandingkan di AS, di mana total kematian akibat Covid-19 melewati 900.000 kasus pada Jumat lalu.
"Sebagian besar warga Kanada telah mengikuti aturan pembatasan Covid-19, bahkan 90 persen pengemudi truk Kanada telah divaksinasi," kata Aliansi Truk Kanada.
Aliansi ini diketahui telah melarang para pengemudi terlibat dalam aksi protes Konvoi Kebebasan.
Namun dukungan untuk aksi ini ternyata sebagian datang dari luar negeri, khususnya AS.
Baca juga: Ribuan Orang di Kanada Gelar Protes Mandat Vaksin Covid-19
Selama akhir pekan lalu, anggota parlemen dari Partai Republik AS berjanji untuk 'menyelidiki' GoFundMe yang berbasis di California, setelah situs penggalangan dana itu menghapus akun yang telah mengumpulkan sumbangan 9 juta dolar AS untuk para pengemudi truk Kanada.
Situs tersebut mengatakan akan mengembalikan uang tersebut kepada para donatur.
Di sisi lain, Trump telah menuliskan cuitan dalam akun Twitter-nya terkait dukungan untuk para pengemudi truk, dengan mengatakan bahwa para pengemudi 'secara damai memprotes kebijakan keras Perdana Menteri Justin Trudeau yang kacau'.
Faktanya, Kanada mengikuti inisiatif kebijakan AS saat memerintahkan bahwa pengemudi truk lintas batas wajib divaksinasi mulai 15 Januari 2022.
Dalam sebuah cuitan pada hari Minggu lalu, mantan Duta Besar Kanada untuk AS Bruce Heyman mengkritik anggota parlemen AS yang memuji para demonstran.
Heyman menyebut mereka sebagai 'politisi radikal AS' dan menambahkan bahwa 'Trump dan para pengikutnya bukan hanya ancaman bagi AS, namun juga untuk semua negara penganut sistem demokrasi'.