TRIBUNNEWS.COM, MOSKWA - Amerika Serikat (AS) dan Eropa diduga khawatir jika memberikan sanksi terhadap perusahaan perangkat lunak (software) asal Rusia, Kaspersky Lab.
Alasannya dikhawatirkan akan menambah risiko serangan siber terhadap negara-negara Barat.
Itulah sebabnya tidak ada kesepakatan dalam pemerintahan AS mengenai pembatasan terhadap perusahaan itu.
Seperti yang dilaporkan The Wall Street Journal pada Rabu kemarin, mengutip seorang sumber.
Dikutip dari laman TASS, Kamis (31/3/2022), menurut sumber tersebut, Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih telah menunda diskusi tentang kemungkinan pemberian sanksi terhadap Kaspersky Lab di Departemen Keuangan AS.
Baca juga: China dan Rusia Berjanji Bentuk Tatatan Baru Demokrasi Dunia yang Berkeadilan
Komisi Komunikasi Federal AS pada Jumat lalu telah menambahkan produk Kaspersky Lab Rusia ke dalam daftar peralatan dan layanan yang menimbulkan ancaman keamanan.
Namun setelah itu, perusahaan tersebut mengaku kecewa dengan keputusan komisi itu untuk melarang penggunaan tunjangan federal dalam membeli produk Kaspersky Lab dan mengecamnya sebagai tindakan politik.
Menurut Kaspersky Lab, pihaknya siap bekerja sama dengan lembaga pemerintah AS dan menjawab pertanyaan dari regulator.
Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi nasional negara itu pada 24 Februari lalu bahwa sebagai tanggapan atas permintaan para Kepala Republik Donbass, ia telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus.
Operasi ini dilakukan untuk melindungi orang-orang 'yang telah mengalami pelecehan dan genosida oleh rezim Ukraina selama 8 tahun'.
Kendati demikian, pemimpin Rusia itu menekankan bahwa negaranya tidak memiliki rencana untuk menduduki wilayah Ukraina.
Ia juga menekankan operasi tersebut ditujukan untuk 'denazifikasi dan demiliterisasi Ukraina'.
Sementara itu, negara Barat telah memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia karena melakukan invasi ke Ukraina.
Penerapan sanksi ditujukan terhadap badan hukum maupun individu swasta Rusia.