TRIBUNNEWS.COM, MARIUPOL - Sergey Volina, Komandan Brigade Marinir ke-36 Ukraina, yang masih bercokol di pabrik baja Azovstal Mariupol meminta bantuan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Ia menyerukan Turki agar membantu mengeluarkan pasukannya dari kota industri di pelabuhan Laut Hitam itu bersama resimen neo-Nazi Azov.
Volina menyampaikan permintaan itu saat diwawancarai penyiar stasiun televisi Turki, Haberturk TV, Jumat (29/4/2022) malam waktu setempat.
“Saya sekarang meminta rakyat Turki dan presiden untuk meluncurkan prosedur ekstraksi,” kata Volina.
Ia mendesak Ankara “melakukan segala yang mungkin untuk membawa garnisun Mariupol ke Turki” dan memberikannya “jaminan keamanan.”
Komandan marinir itu telah mengakui pasukannya berada dalam situasi “sangat sulit” setelah 65 hari berperang melawan pasukan Rusia.
Baca juga: Rusia Umumkan Gencatan Senjata di Pabrik Baja Azovstal Mariupol untuk Proses Evakuasi Warga Sipil
Baca juga: Rusia Blokade Pabrik Baja Azovstal dan Deklarasikan Kemenangan, Mariupol Bertahan dalam Pengepungan
Baca juga: Media Barat Kompak Tutupi Sepak Terjang Batalyon Azov Neo-Nazi Ukraina
Dia juga mengungkapkan mereka yang bercokol di pabrik baja itu termasuk sekitar 600 tentara yang terluka.
Dia tidak merinci apakah yang dia maksud hanya unitnya sendiri atau resimen Azov juga.
Volyna juga menyatakan ada warga sipil yang bersembunyi di ruang bawah tanah di bawah kompleks pabrik baja yang luas. Ada juga yang terluka di antara mereka.
Ankara belum menanggapi permintaan ini dengan cara apa pun sejauh ini.
Kota Mariupol jadi medan pertempuran sengit sejak dimulainya aksi militer Rusia di Ukraina pada 24 Februari 2022.
Kota itu dikepung pasukan Rusia dari segala sisi, diperkuat milisi dari dua republik Donbass pada awal Maret.
Pasukan Ukraina serta tentara bayaran asing dan militan yang awalnya bersembunyi di kota akhirnya mundur ke pabrik Azovstal.
Sekarang, situs tersebut tetap menjadi kantong perlawanan terakhir.
Dibangun pada zaman Soviet, fasilitas ini memiliki jaringan terowongan bawah tanah yang sangat besar, yang diubah menjadi benteng oleh pasukan Ukraina.
Pada 21 April, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu mengatakan kepada Presiden Vladimir Putin Mariupol sepenuhnya berada di bawah kendali Rusia kecuali pabrik Azovstal.
Presiden Putin kemudian membatalkan serangan yang semula disiapkan ke fasilitas tersebut, dan memberi kesempatan pasukan Ukraina yang tersisa agar menyerah.
Rusia menjamin siapa pun yang akan meletakkan senjata mereka hidup mereka, serta perlakuan yang layak di bawah semua norma internasional.
Moskow juga mengatakan pihaknya berusaha untuk mengatur koridor kemanusiaan bagi mereka yang bersedia keluar dari pabrik Azovstal beberapa kali sebelum 21 April tetapi upaya itu gagal.
Sebaliknya, militan Azov dan pasukan Ukraina, termasuk Volina menuntut mereka diizinkan pergi melalui bantuan "pihak ketiga".
Mereka tetap ingin menyimpan senjata pribadi mereka. Mereka juga menegaskan menyerah bukanlah suatu pilihan.
Pada 22 April, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan para pejuang Ukraina dan tentara bayaran asing hanya perlu mengibarkan bendera putih di sepanjang perbatasan Azovstal.
“Tawaran kemanusiaan oleh Rusia ini tetap berlaku 24/7,” tambahnya. Sekitar 2.000 pejuang Ukraina tetap berada di pabrik, menurut perkiraan kementerian.
Kiev masih menyatakan pasukan Ukraina akan dapat menyelamatkan pasukan yang bersembunyi di Mariupol jika dilengkapi dengan senjata yang cukup.
“Ada cara militer” untuk membuka blokir Mariupol,” kata Presiden Volodymyr Zelensky kepada media pada 21 April ketika dia meminta negara-negara barat untuk memasok Ukraina dengan lebih banyak alat berat.
Rusia menyerang negara tetangga itu pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina untuk mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk 2014.
Moskow memberi pengakuan atas Republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik secara paksa.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)