Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang antara Rusia dan Ukraina masih terus terjadi sampai saat ini, usai Kremlin memulai invasinya sejak 24 Februari 2022 lalu. Akibat invasi ke Ukraina, Rusia kian terkucil di panggung internasional.
Sanksi ekonomi bagi Rusia terus dipertajam oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutu lainnya.
Doktor ilmu sejarah sekaligus pemerhati Rusia-Eropa Timur dari Universitas Indonesia (UI), Ahmad Fahrurodji menyebut serangan Rusia sarat motif geopolitik. Pasalnya perlu ada alasan sangat kuat bagi pemimpin Rusia untuk mengambil keputusan yang mempertaruhkan masa depan Rusia.
Baca juga: Rusia Luncurkan Rudal Jauh dari Garis Depan dan Dekat Perbatasan, 10 Orang Tewas di Luhansk
"Pasti ada alasan yang sangat kuat bagi pemimpin Rusia itu dalam mengambil keputusan yang mempertaruhkan masa depan Rusia akan kemungkinan Rusia terancam dikucilkan dalam masyarakat internasional dan sanksi ekonomi yang lebih keras," kata Ahmad dalam keterangannya, Selasa (17/5/2022).
Menurut Ahmad, alasan demiliterisasi yang disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin lebih memiliki motif geopolitik berkaitan dengan perluasan NATO ke Timur. Sebab sejak awal Rusia menilai eksistensi NATO tak lagi relevan, seiring berakhirnya Perang Dingin.
Perluasan NATO sendiri, bagi Rusia, merupakan instrumen politik luar negeri AS untuk semakin menanamkan hegemoni mereka di kawasan.
Putin menyoroti pengabaian norma internasional oleh Barat dalam penyelesaian berbagai permasalahan dunia.
Baca juga: TV Rusia Sebut Putin akan Luncurkan Nuklir ke Perbatasan Eropa Jika Finlandia dan Swedia Gabung NATO
Contoh pelanggaran hukum internasional antara lain pengeboman Beograd, Libya, Irak, dan terakhir terhadap Suriah, yang dilakukan koalisi Barat. Seluruh tindakan itu tak pernah disetujui baik dari pemerintah Suriah maupun Dewan Keamanan PBB.
Putin menyebut aksi koalisi dan penghancuran di Suriah justru melahirkan arus pengungsi besar-besaran ke Eropa dan munculnya sarang-sarang baru terorisme internasional.
"Sinyalemen Putin tersebut seakan merupakan bentuk protes dan habisnya kesabaran Rusia terhadap berbagai permasalahan dunia yang selama ini diselesaikan secara sepihak oleh AS dan sekutu mereka tanpa mempertimbangkan pandangan pihak lain," ungkap Ahmad.