Negara-negara lain enggan bergabung dengan dorongan sanksi Barat. Cina meningkatkan impor energinya dari Rusia pada April.
Data yang dikutip Bloomberg, pembelian minyak, gas dan batu bara Cina dari Rusia melonjak 75 persen bulan lalu.
Sementara India menjajal peluang investasi proyek energi Rusia yang ditinggalkan perusahaan barat seperti Exxon dan Shell.
Di Eropa, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban membandingkan sanksi tersebut dengan bom nuklir bagi negaranya.
Sanksi keras ke Rusia tersebut dapat menjadi bumerang dan menyebabkan kekurangan pangan dan migrasi massal.
Latar Belakang Aksi Rusia
Rusia melancarkan serangannya terhadap Ukraina pada akhir Februari, menyusul kegagalan Kiev untuk menerapkan persyaratan perjanjian Minsk 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim mereka berencana untuk merebut kembali kedua republik secara paksa.
Perkembangan lain, Moskow dan Ankara mengumumkan fase baru negosiasi untuk mengganti merek asing yang meninggalkan Rusia dengan merek Turki.
Tahap pertama negosiasi berlangsung pada April 2022, yang kedua pada pertengahan Mei, ketika Asosiasi Merek Bersatu Turki datang ke Rusia.
Federasi Rusia berharap merek Turki akan bertahan lama di Rusia. Perusahaan Turki yang belum terwakili di pasar Rusia akan diberikan semua persyaratan yang diperlukan untuk perdagangan.
Banyak merek asing meninggalkan pasar Rusia menyusul sanksi yang dijatuhkan sebelum dan sesudah peluncuran operasi khusus di Ukraina.