TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah tiba di Jerman dan siap untuk menghadiri pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi G7 pada Senin (27/6/2022).
Presiden Jokowi hadir dalam KTT G7 sebagai negara mitra G7 bersama 4 pemimpin lainnya yaitu Presiden Argentina, Perdana Menteri India, Presiden Senegal, dan Presiden Afrika Selatan.
Dalam KTT G7 kali ini, Presiden Jokowi akan mendorong negara-negara G7 untuk bersama-sama mengupayakan perdamaian di Ukraina.
Selain itu, Indonesia juga akan menyuarakan agar secepat-cepatnya mencari solusi dalam menghadapi krisis pangan dan krisis energi yang sedang melanda dunia.
Baca juga: KTT G7 di Jerman Merupakan Forum Negara-negara Maju, Mengapa Jokowi Diundang?
Lantas apa itu G7?
Mengutip laman Council on Foreign Relations, G7 adalah singkatan dari Group of Seven.
G7 adalah organisasi antar pemerintah, yang anggotanya adalah semua negara dengan "ekonomi maju dan masyarakat terbuka".
Ada tujuh negara yang tergabung dalam forum ini, yakni Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Inggris.
Ketujuh negara ini bertemu setiap tahun untuk membahas isu-isu seperti tata kelola ekonomi global, keamanan internasional, dan kebijakan energi.
Semula, forum ini dibentuk oleh enam negara pada 1975, kemudian Kanada bergabung di tahun berikutnya.
Rusia juga pernah bergabung dalam forum ini pada 1998, yang menjadikan namanya berubah G8 saat itu.
Namun, karena aneksasi atas wilayah Krimea Ukraina pada 2014 lalu, Rusia kemudian sudah tidak tergabung dalam forum tersebut.
Baca juga: Fakta-fakta KTT G7 2022 di Jerman: Jadwal, Negara Peserta, hingga Topik Diskusi
Dilansir laman cfr.org, Uni Eropa (UE) telah berpartisipasi penuh dalam G7 sejak tahun 1981 sebagai anggota “nonenumerated”.
Ini diwakili oleh presiden Dewan Eropa, yang terdiri dari para pemimpin negara-negara anggota UE, dan Komisi Eropa, badan eksekutif UE.
Tidak ada kriteria formal untuk keanggotaan, tetapi semua peserta adalah negara demokrasi yang kaya.
Produk domestik bruto agregat (PDB) negara-negara anggota G7 membentuk sekitar 45 persen dari ekonomi global secara nominal, turun dari hampir 70 persen tiga dekade lalu.
Berbeda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau North Atlantic Treaty Organization (NATO), G7 bukanlah lembaga formal dengan piagam dan sekretariat.
Fungsi presidensi dipegang oleh salah satu negara anggota, yang berganti setiap tahun.
Jerman telah memegang kepresidenan untuk ketujuh kalinya.
Negara yang menjadi presidensi bertanggung jawab untuk menetapkan agenda KTT setiap tahun dan mengatur logistik untuk itu.
Para menteri dan utusan, yang dikenal sebagai sherpa, menyusun inisiatif kebijakan pada pertemuan-pertemuan yang mendahului pertemuan para pemimpin nasional.
Negara-negara non anggota terkadang diundang untuk berpartisipasi dalam pertemuan G7.
Tahun ini, Indonesia yang menjadi presidensi G20 termasuk negara yang diundang dalam forum penting ini.
Sejarah Pendirian G7
G7 lahir sebagai akibat dari masalah ekonomi besar yang dihadapi dunia pada tahun 1970-an.
Guncangan minyak pertama dan runtuhnya sistem nilai tukar tetap Bretton Woods membuat dunia gelisah.
Para kepala negara dan pemerintahan dari enam negara industri terkemuka pun bertemu pada tahun 1975 untuk pertama kalinya untuk membahas ekonomi global saat itu.
Dikutip dari laman g7germany.de, ide pertemuan pertama adalah inisiatif dari Presiden Prancis Valéry Giscard d'Estaing dan Kanselir Helmut Schmidt.
Pada tahun 1975 mereka memulai pertemuan puncak pertama di Chateau de Rambouillet, 50 kilometer barat daya Paris.
Pada pertemuan puncak para kepala negara dan pemerintahan Perancis, Jerman Barat, Amerika Serikat, Jepang, Inggris dan Italia membahas kejutan minyak, krisis keuangan dan jalan keluar dari resesi.
Pada KTT G6 pertama ini, mereka mengadopsi 15 poin komunike, Deklarasi Rambouillet, dan setuju untuk bertemu di masa depan setahun sekali, di bawah Kepresidenan bergilir.
Pada tahun 1976 Kanada bergabung dengan grup, yang selanjutnya dikenal sebagai G7.
Pada 1980-an, G7 memperluas kepentingannya untuk merangkul isu-isu kebijakan luar negeri dan keamanan.
Tantangan internasional pada waktu itu termasuk konflik lama antara Iran dan Irak dan pendudukan Soviet di Afghanistan.
(Tribunnews.com/Tio)