“Tidak mungkin memperkirakan berapa banyak orang yang terbunuh.”
Cite Soleil adalah pusat terminal minyak yang memasok ibu kota dan seluruh Haiti utara, sehingga bentrokan tersebut berdampak buruk pada ekonomi kawasan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
SPBU di Port-au-Prince tidak memiliki gas untuk dijual, menyebabkan harga di pasar gelap meroket.
Haiti menderita ketidakstabilan keamanan selama bertahun-tahun.
Setelah mantan presiden Jovenel Moïse dibunuh pada Juli tahun lalu, penggantinya Ariel Henry bersumpah untuk meningkatkan keamanan.
Kendati demikian, penculikan dan kekerasan geng terus terjadi di negara Karibia itu.
Para geng itu melakukan penculikan massal yang menyasar warga biasa hingga orang asing.
Didorong oleh kelambanan polisi, geng-geng menjadi semakin berani dalam beberapa pekan terakhir.
Setidaknya 155 penculikan terjadi di bulan Juni, dibandingkan dengan 118 di bulan Mei, menurut laporan yang dirilis oleh Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia yang dirilis Rabu.
Baca juga: Rugi 150.000 Barel Per Hari, Irak Gagal Genjot Ekspor Minyak di Tengah Krisis Energi
Baca juga: Baku Tembak di Rumah Irjen Ferdy Sambo, Kompolnas: Korban Kekerasan Seksual Harus Dilindungi
Kemiskinan dan kekerasan yang meluas menyebabkan banyak warga Haiti melarikan diri ke Republik Dominika atau ke Amerika Serikat.
Tanpa mengantongi visa atau uang, mereka akan mempertaruhkan hidup dengan naik perahu demi mencapai Florida.
Sayangnya banyak yang berakhir di Kuba atau Bahama, atau dihentikan di laut oleh otoritas AS dan terpaksa kembali ke rumah.
Hampir setengah dari 11 juta penduduk Haiti menghadapi kekurangan pangan, termasuk 1,3 juta yang menghadapi darurat kemanusiaan, yang mendahului kelaparan, menurut perhitungan PBB.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)