TRIBUNNEWS.COM, RIYADH – Presiden AS Joe Biden dalam pertemuannya dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) menyinggung kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khasoggi.
Washington dan CIA telah menyimpulkan pembunuhan di dalam komplek Konsulat Saudi Arabia di Istanbul, Turki, itu melibatkan putra mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS).
Sumber pejabat Saudi yang turut dalam pertemuan itu di Riyadh, menceritakan Pangeran MBS langsung mengingatkan kasus penyiksaan militer AS di Irak.
Pangeran MBS juga menyinggung sikap Washington terkait pembunuhan jurnalis Aljazeera di Palestina Shireen Abu Akhleq yang berkewarganegaraan AS.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Bertemu Pangeran MBS Bahas Pembunuhan Jamal Khasoggi
Baca juga: Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Yair Lapid Tandatangani Deklarasi Anti-Iran
Baca juga: Dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan, 5 Pembunuh Jurnalis Arab Saudi Jamal Khasoggi Dihukum Mati
Kunjungan politik Joe Biden ke Saudi ini dipandang menarik, karena memperlihatkan sikap baru AS terhadap negara kunci di Timur Tengah itu.
Apakah Biden berhasil mengatur ulang hubungan Washington dan Riyadh dan menegaskan posisi kepemimpinan AS di wilayah tersebut?
Analis politik yang berbasis di Riyadh, Dr Ahmed Al Ibrahim, Minggu (17/7/2022) melihat isu energi tampaknya menjadi alasan sebenarnya di balik kunjungan Biden ke kerajaan Saudi.
Biden di masa lalu pernah menyatakan AS akan menjadikan Saudi negara paria dalam kampanye kepresidenan 2019-2020.
Sejak awal 2021, harga minyak telah melonjak lebih dari dua kali lipat di AS, mendorong pemerintahan Biden untuk mendekati Saudi dan sekutu OPEC mereka.
"Kebijakan minyak di Arab Saudi cukup banyak diatur," kata Dr Ahmed Al Ibrahim. Namun Saudi juga terikat OPEC, sehingga tidak bisa bergerak sendirian.
Menurut Al Ibrahim, pasar minyak sudah jenuh dengan minyak. Ekstraksi lebih lanjut hanya dapat mengganggu keseimbangan.
Pada 30 Juni, pejabat dari OPEC, Rusia dan negara-negara penghasil minyak lainnya mengkonfirmasi keputusan mereka untuk meningkatkan produksi sebesar 648.000 barel per hari pada Agustus.
"Saya pikir sebagian besar negara OPEC+, mereka hampir mencapai produksi maksimum," jelas Al Ibrahim.
Dia tidak melihat cara untuk meningkatkan ekstraksi minyak secara signifikan di masa mendatang.