TRIBUNNEWS.COM, ATLANTA – Legenda rock dan pentolan grup musik Pink Floyd, Roger Waters, menjelaskan mengapa ia melabeli Presiden AS Joe Biden sebagai penjahat perang.
Label itu disematkan Roger Waters di layer raksasa saat ia konser tunggal “This Is Not A Drill” di Amerika pekan ini. Selain Biden, Waters juga mengecam Presiden Trump.
Waters muncul di wawancara stasiun televisi CNN, yang rekamannya ditayangkan Sabtu (6/8/2022) waktu Amerika Serikat.
Baca juga: Bukti-bukti Tunjukkan Ukraina Membom Pusat Tawanan Azov di Donbass
Baca juga: AS Siapkan Paket Bantuan Senjata Senilai Rp14,9 Triliun untuk Ukraina
Baca juga: Amnesti Internasional : Pasukan Kiev Bahayakan Penduduk Sipil Ukraina
Secara khusus Waters menjelaskan alasan mengapa ia memilih tema tur dan anjuran kepada penggemar terkait pandangan politiknya.
Ia diwawancarai pembawa acara CNN, Michael Smerconish. Kepada pewawancara, Waters menjelaskan sikap politiknya tidak berubah sejak era 50an.
Pria kelahiran 1943 itu sejak lama dikenal aktivis anti-perang. Kepada Smerconish yang usianya jauh di bawah dia, Waters menjelaskan Biden melakukan kejahatan besar karena memicu konflik di Ukraina.
“(Joe Biden) memicu perang di Ukraina. Itu kejahatan besar. Mengapa Amerika Serikat tidak mendorong (Presiden Ukraina Vladimir) Zelensky bernegosiasi, meniadakan perang yang mengerikan dan mengerikan ini, yang membunuh (orang)?” tanya Waters.
Smerconish mencoba menentang pendapat Roger Waters, menandaskan Ukraina diserang oleh Rusia. Waters mengingatkan Smerconish agar melihat krisis dalam konteks sejarah.
“Anda perlu melihat sejarahnya. Perang ini pada dasarnya tentang aksi dan reaksi NATO yang mendorong sampai ke perbatasan Rusia, yang mereka janjikan tidak akan mereka lakukan,” kata Waters.
Ia lantas menjelaskan, komitmen itu merupakan pembicaraan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan para pemimpin barat saat Moskow menarik pasukannya dari Eropa Timur.
Waters menyinggung peristiwa awal 2008 di pertemuan puncak NATO di Bukares saat Ukraina dan Georgia dijanjikan akan diproses menjadi anggota penuh aliansi militer Eropa dan Atlantik Utara itu.
Wawancara itu berlangsung sengit saat pentolan Pink Floyd kelahiran Inggris dan Smerconish terlibat adu argumentasi atas peran Amerika dalam Perang Dunia II.
Waters bersikeras AS tidak dapat menyebut dirinya pembebas, sembari mengatakan Washington memasuki perang Eropa hanya karena serangan Jepang di Pearl Harbor pada akhir 1941.
Namun, wartawan CNN itu terus menyangkal, mengatakan AS akan bergabung ke perang Eropa terlepas dari faktor Pearl Harbour atau bukan.
Tetap pada subjek Perang Dunia II, musisi itu berpendapat Uni Soviet hampir memenangkan perang berdarah pada saat AS masuk ke palagan Eropa.
Ia mengatakan ada 23 juta orang Rusia tewas di peperangan itu.
“Untuk melindungi Anda dan saya dari ancaman Nazi,” kata Waters sembari menunjuk ke arah Smerconish yang menyambutnya seperti menertawakan pandangan Waters.
“Anda akan berpikir Rusia akan belajar dari perang dan tidak akan menginvasi Ukraina…adil?” cecar Smerconish sembari tertawa.
Waters menolak pendapat itu sembari bertanya, ”Apa yang akan dilakukan Amerika Serikat jika China menempatkan rudal bersenjata nuklir ke Meksiko dan Kanada,” sergah Waters.
“Orang-orang China sibuk mengepung Taiwan saat kita berbicara,” timpal Smerconish mengalihkan topik pembicaraan.
Rogers Waters mengingatkan sang pewawancara yang ia sebut percaya propaganda di medianya (CNN). Smerconish tertawa dan terus menyangkal. Waters mengingatkan prinsip Satu China.
Sebelumnya, Roger Waters telah mengutuk operasi Rusia, mencapnya sebagai kesalahan criminal, tindakan gangster dan ia menyerukan gencatan senjata segera.
Akhir tahun lalu, Rusia mengajukan proposal kepada NATO dan AS untuk menyetujui jaminan keamanan di mana blok tersebut akan menahan diri dari ekspansi lebih lanjut ke Eropa timur.
Menerima Ukraina sebagai anggota NATO dalam pandangan Rusia adalah poin paling berbahaya dan kontroversial.
Pada saat itu, Moskow juga bersikeras untuk tidak menyebarkan senjata ofensif, termasuk senjata nuklir, dan menuntut agar pasukan NATO mundur ke posisi yang mereka duduki pada 1997.
Maret 2022, setelah Rusia menggelar operasi militer ke Ukraina, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov mengatakan jaminan keamanan yang diusulkan sebelumnya tidak lagi berlaku.
Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari 2022, sebagai babak akhir kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan perjanjian Minsk 2014.
Perjanjian ini dirancang memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Lugansk di dalam negara Ukraina.
Protokol, yang ditengahi Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada 2014. Mantan Presiden Ukraina Pyotr Poroshenko mengakui tujuan utama Kiev meneken kesepakatan adalah mengulur waktu.
Gencatan senjata itu digunakan Ukraina untuk menciptakan angkatan bersenjata yang kuat. Serangan ke wilayah Donbass yang berpenduduk mayoritas berbahasa Rusia berlanjut.
Rakyat Donets dan Luhansk saat itu memilih untuk meninggalkan Ukraina, dan hendak menyatakan diri bebas merdeka.
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui Republik Donbass sebagai negara merdeka. Moskow menuntut Ukraina secara resmi menyatakan dirinya negara netral.
Ukraina tidak boleh bergabung dengan blok militer barat mana pun. Kiev menentang, dan menyatakan serangan Rusia ke negaranya benar-benar tidak beralasan.(Tribunnews.com/RussiaToday/CNN/xna)