TRIBUNNEWS.COM - Kinerja Polri menjadi sorotan media asing buntut pecahnya tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan ratusan suporter Arema FC dan dua anggota polisi.
Media asal Amerika Serikat (AS), New York Times, menuliskan di akun Twitter mereka, bahwa polisi Indonesia kurang terlatih dalam mengendalikan massa.
Tak hanya itu, dalam hampir semua kasus, Polri tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan langkah mereka dalam mengantisipasi kerusuhan.
"Kepolisian Indonesia sangat termiliterisasi, kurang terlatih dalam pengendalian massa, dan dalam hampir semua kasus, (Polri) tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan langkah, kata para ahli," cuit New York Times, Selasa (4/10/2022).
Lebih lanjut, artikel New York Times yang dikutip The Indian Express, membahas soal tanggapan para ahli terkait kinerja polisi Indonesia dalam tragedi di Kanjuruhan.
Tak hanya itu, anggaran Polri yang meningkat dari tahun ke tahun juga turut menjadi sorotan.
Baca juga: Tokoh Aremania Anto Baret: Sampai Mati Pun Akan Saya Kawal Pengusutan Tragedi Kanjuruhan
Selama bertahun-tahun, orang Indonesia berhadapan dengan Polri yang banyak dikatakan korupsi, menggunakan kekerasan untuk menekan massa, dan tidak bertanggung jawab atas sikap mereka.
Pada 2019 lalu, polisi menembak dan membunuh 10 orang dalam unjuk rasa di Jakarta yang menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tahun berikutnya, ratusan orang di 15 provinsi dipukuli menggunakan tongkat saat memprotes undang-undang baru.
Di bulan April 2022, polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan mahasiswa pengunjuk rasa yang damai, membuat tiga balita terdampak.
Dunia melihat sekilas taktik itu pada tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022), saat petugas anti-huru hara di Kota Malang, memukuli suporter Arema menggunakan tongkat dan perisai.
Lalu, tanpa peringatan menembakkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di salah satu tribun.
Metode ini memicu keributan yang berujung pada kematian ratusan orang, salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.
Para ahli mengatakan, tragedi itu mengungkap masalah sistematik yang dihadapi polisi.
Banyak di antara petugas yang kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik.
Baca juga: Komnas HAM: Masyarakat Malang Minta Segera Ada Tersangka Tragedi Stadion Kanjuruhan
Dalam hampir semua kasus, kata para ahli, polisi tidak pernah merespons secara benar atau bertanggung jawab atas kesalahan langkah yang mereka tempuh.
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia.
Laporan-laporan ini, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.
“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” dia berkata.
“Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”
Kepercayaan publik pada Polri turun tajam
Setelah kekerasan pada Sabtu (1/10/2022) lalu, banyak warganet mencuitkan di Twitter, menyerukan agar Kapolri dipecat.
Pada Senin (3/10/2022) malam, hampir 16.000 orang sudah menandatangani petisi yang meminta polisi agar menghentikan penggunaan gas air mata.
Pemerintah bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik, men-skors Kapolres Malang, dan berjanji untuk mengumumkan nama-nama tersangka yang bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan.
Baca juga: Daftar 12 Orang yang Dihukum Terkait Tragedi Kanjuruhan, Ketua Umum PSSI Kirim Salam ke Netizen
Polisi di Indonesia tidak pernah sekejam atau sehebat ini.
Selama tiga dasawarsa pemerintahan diktator Soeharto, militerlah yang dipandang sangat berkuasa.
Tetapi, setelah kejatuhannya pada 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal pada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar pada Polri.
Dalam banyak kasus, petugas polisi memiliki keputusan akhir tentang apakah suatu kasus harus dituntut.
Menerima suap adalah hal biasa, kata para analis, dan setiap tuduhan pelanggaran polisi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tinggi untuk diselidiki.
Wirya Adiwena, wakil direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan kecuali pada 2019, ketika dua mahasiswa tewas di Pulau Sulawesi selama protes.
Jajak pendapat menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan publik terhadap Polri - turun menjadi 54,2 persen pada Agustus 2022, dari sebelumnya 71,6 persen pada April 2022.
Penurunan itu terjadi setelah kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua Hutabarat (Brigadir J) yang didalangi mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
Diketahui, dalam kasus ini, Ferdy Sambo meminta pada petugas lain untuk menutupi kasus pembunuhan tersebut dan menarasikan Brigadir J tewas karena terlibat tembak menembak dengan Bharada Richard Eliezer (Bharada E).
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan Turut Jadi Perhatian pada Perhelatan P20
Anggaran Polri tahun 2022 ketiga terbesar dibanding instansi lain
Kurangnya akuntabilitas polisi beriringan dengan anggaran yang membengkak.
Tahun ini, anggaran kepolisian nasional mencapai $7,2 miliar (sekitar Rp109,5 triliun dengan kurs Rp15.212), lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013.
Anggarannya adalah yang terbesar ketiga di antara semua kementerian pemerintah di negara ini, melebihi jumlah yang diberikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kesehatan.
Sebagian besar uang itu telah dihabiskan untuk gas air mata, pentungan, dan masker gas.
Andri Prasetiyo, seorang peneliti keuangan dan kebijakan yang telah menganalisis data pengadaan pemerintah selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir, Polri telah menghabiskan sekitar $217,3 juta (sekitar Rp3,3 triliun) untuk membeli helm, tameng, kendaraan taktis, dan peralatan lain yang dikerahkan selama protes.
Pembelian gas air mata melonjak pada tahun 2017 menjadi $21,7 juta (sekitar Rp330 miliar), menurut Andri, setelah Jakarta diguncang oleh serangkaian protes yang melibatkan puluhan ribu orang Indonesia menuntut agar gubernur Kristen Tionghoa pertama di kota itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dipenjara karena penodaan agama.
Belum ada tindak lanjut atas penyelidikan demonstran tewas tahun 2019
Para ahli kepolisian mengatakan bahwa 2019 adalah titik balik penggunaan gas air mata oleh kepolisian.
Pada bulan Mei tahun itu, petugas bentrok dengan demonstran ketika protes atas pemilihan presiden berubah menjadi kekerasan, yang mengakibatkan kematian, beberapa di antaranya melibatkan remaja.
Baca juga: Presiden Jokowi Ingin TGIPF Rampungkan Investigasi Tragedi Kanjuruhan Secepat Mungkin
Rivanlee Anandar, wakil koordinator pengawas hak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan belum ada “tindak lanjut dan penyelidikan” atas kematian tersebut.
Ia telah mengunjungi keluarga lima korban dan mengatakan bahwa autopsi telah dilakukan hanya dalam satu kasus, dan keluarga belum mengetahui hasilnya.
"Kami belum tahu siapa pelakunya sampai hari ini," katanya.
Penggunaan gas air mata yang lazim oleh polisi telah melampaui geografi.
Saat menghadapi demonstrasi massa, petugas dari Jakarta hingga Kalimantan secara konsisten menggunakan bahan kimia untuk melumpuhkan pengunjuk rasa.
Anggaran untuk munisi gas air mata yang sempat turun setelah alokasi tahun 2017 melonjak lagi pada tahun 2020 menjadi 14,8 (sekitar Rp225,1 miliar) juta dolar AS, meningkat enam kali lipat dari tahun sebelumnya, kata Andri.
Tahun itu, polisi mengerahkan gas air mata ke kerumunan yang memprotes tindakan virus corona.
Kemudian pada tahun 2020, mereka menggunakannya lagi untuk membubarkan massa yang berdemonstrasi menentang undang-undang baru yang memangkas perlindungan bagi pekerja dan lingkungan.
Amnesty International Indonesia mengatakan telah mendokumentasikan setidaknya 411 korban kekerasan polisi yang berlebihan di 15 provinsi selama protes tersebut.
“Sekarang sudah menjadi pola,” kata Sana Jaffrey, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict di Jakarta.
Jaffrey mengatakan bahwa anggaran polisi selama bertahun-tahun telah dialokasikan untuk menangani banyak demonstrasi baru-baru ini, tetapi "hal-hal dan pekerjaan akar rumput sehari-hari polisi telah diabaikan."
Pada Januari 2022, Polri membeli pentungan khusus untuk petugas di Provinsi Jawa Timur, lokasi Malang, senilai hampir $3,3 juta (sekitar Rp50,2 juta), menurut Andri.
Para ahli terkejut dengan reaksi polisi dalam tragedi Kanjuruhan
Untuk mengantisipasi kekerasan dalam pertandingan sepak bola, banyak polisi muncul mengenakan helm, rompi, dan tameng, serta bersenjatakan tongkat.
Beberapa klub suporter memiliki komandan yang terlibat dalam pelatihan fisik untuk mempersiapkan pertarungan.
Beberapa tim tiba di pertandingan dengan pengangkut personel lapis baja.
Namun, para ahli mengatakan mereka terkejut dengan tanggapan kacau polisi di stadion pada hari Sabtu (1/10/2022), mengingat kekerasan sepak bola biasa terjadi di negara itu - dengan seringnya perkelahian antara suporter klub saingan - dan bahwa polisi harus memiliki pedoman untuk setiap kerusuhan.
Pada 2018, polisi anti-huru hara menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, ketika terjadi kekerasan dalam pertandingan yang melibatkan tim tuan rumah, Arema.
Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun meninggal beberapa hari kemudian.
Tidak ada laporan apakah ada penyelidikan atas kematiannya atau bagaimana polisi menangani kerusuhan tersebut.
Sekarang, pihak berwenang berencana untuk menyelidiki apa yang salah pada Sabtu lalu, ketika ribuan pendukung berkumpul di Malang untuk melihat Arema menjamu Persebaya Surabaya.
Setelah Arema mengalami kekalahan mengejutkan, 2-3, beberapa suporter berlarian ke lapangan.
Polisi kemudian melepaskan gelombang kekerasan dan menembakkan gas air mata, kata saksi mata.
Kepala menteri keamanan mengatakan bahwa petugas yang dicurigai melakukan kekerasan di stadion akan menghadapi tuntutan pidana.
Pada Minggu (2/10/2022), Kapolres Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan polisi telah mengambil tindakan sesuai prosedur.
Ia mengatakan bahwa gas air mata telah dikerahkan "karena ada anarki" dan bahwa para suporter "akan menyerang petugas dan merusak mobil."
Sebagai tanda bahwa Polres Malang telah berupaya mengantisipasi aksi kekerasan tersebut, pihaknya meminta pihak penyelenggara untuk memundurkan pertandingan menjadi pukul 15.30 WIB.
“Demi pertimbangan keamanan,” demikian surat yang beredar secara online dan dikonfirmasi isinya oleh Polda Jatim kepada The New York Times.
Slot waktu yang lebih awal, menurut pemikiran itu, akan membuat acara lebih ramah keluarga.
Namun, permintaan polisi itu ditolak. Penyelenggara tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar pada hari Senin (3/10/2022).
Banyak aktivis HAM mengatakan bahwa untuk meningkatkan taktik penegakan hukum, mereka secara konsisten membuat rekomendasi ini kepada polisi: Jangan langsung mengambil gas air mata; jangan mengayunkan tongkat pada orang berdasarkan insting pertama; memahami bagaimana mengendalikan orang banyak; meredakan konflik.
“Standar operasional prosedurnya jangan sampai polisi loncat dari nol ke 100,” kata Wirya Adiwena, wakil direktur Amnesty International Indonesia.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)