Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan bergaya otoritarian seperti yang berlangsung di China bukan model yang cocok bagi Indonesia . Alih-alih melakukan glorifikasi terhadap otoritarianisme, masyarakat Indonesia justru patut mensyukuri datangnya era kebebasan dan iklim demokrasi di negeri ini sejak dua setengah dasawarsa lalu hingga hari ini, dan mempertahankan atmosfer demokrasi ini sambil menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab.
Demikian disampaikan pengamat Tiongkok sekaligus Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto pada seminar "Anti Government Protest in China: A Threat to the Regime?”yang diselenggarakan FSI di Jakarta, Senin 23 Januari 2023.
Baca juga: Studi: Amerika Serikat Tidak Siap Melawan China
Seminar yang membahas munculnya fenomena gerakan antipemerintah di berbagai kota besar di China pada akhir November 2022 lalu tersebut menghadirkan Profesor Jie Chen, Ph.D, ahli ilmu politik dan Hubungan Internasional dari University of Western Australia, Perth, yang menyampaikan presentasinya secara live melalui video dari Perth.
Dalam uraiannya, Profesor Jie Chen mengatakan bahwa gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Kertas Putih (White Paper Movement) ini memiliki beberapa perbedaan utama dibandingkan gerakan-gerakan serupa yang terjadi di China sejak tahun 1990.
“Pertama, elemen-elemen dalam Gerakan Kertas Putih menantang legitimasi rezim Partai Komunis China (PKC) dan bangkitnya seorang ditaktor,” ujar guru besar yang beberapa tahun lalu menulis buku berjudul “ The Overseas Chinese Democracy Movement: Assessing China’s Only Open Political Opposition” tersebut.
“Selain itu, Gerakan Kertas Putih juga menandakan munculnya kebangkitan politik di kalangan masyarakat China generasi pasca 1990-an,” lanjutnya.
Profesor Chen juga mengatakan bahwa kebangkitan politik pada generasi di atas telah membuat banyak pihak terkejut.
Menurut Profesor Chen, Gerakan Kertas Putih itu terjadi tanpa adanya pengaruh dan dorongan dari gerakan demokrasi orang China seberang lautan (overseas Chinese democracy movement).
Baca juga: Menlu Sergei Lavrov Beberkan Strategi Geopolitik Rusia, Dekati China dan Sebut Barat Diktator
Menurutnya, inspirasi internasional dari gerakan yang berawal dari protes anti lockdown tersebut justru datang dari tayangan Piala Dunia di Qatar, yang memperlihatkan kehidupan yang bebas dan bahagia tanpa lockdown ataupun masker.
Yang terpenting, dalam pandangan Profesor Jie Chen adalah, munculnya gerakan protes pada November 2022 lalu menandai retaknya “kesepakatan besar pasca Tiananmen” antara masyarakat China dan rezim penguasa. Kesepakatan yang pada intinya merupakan penukaran hak politik rakyat dengan kemakmuran ekonomi itu nampaknya sedang menghadapi tantangan yang sangat penting.
Profesor Jie Chen memprediksi, protes serupa akan lebih banyak terjadi di sepanjang era pemerintahan Xi Jinping. “Ini akan sangat bergantung pada kemampuan kepemimpinan baru China. Dapatkah tim kepemimpinan (Komite Tetap Polibiro) yang baru, yang terdiri dari Xi dan para kroninya itu, mengatasi tantangan dan krisis yang dihadapi China, sehingga kesepakatan besar pasca Tiananmen dapat diperkuat kembali?”
Menurutnya, krisis ekonomi yang diperparah antara lain oleh krisis demografik dan pengucilan China oleh Barat sebagai akibat “Perang Dingin Baru” akan menjadi tantangan terbesar Xi dan para sekutunya dalam kepemimpinan China.
Ketua FSI yang juga mengajar kajian China di Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto mengatakan bahwa terjadinya Gerakan Kertas Putih di China pada November 2022 lalu sangat menarik dan penting untuk dicermati.