“Pertama, rangkaian peristiwa di atas memperlihatkan bahwa kondisi internal Republik Rakyat China (RRC) ternyata masih dipenuhi berbagai permasalahan yang masih belum terselesaikan. Model pemerintahan otoriter PKC yang bersifat top-down dan mengandalkan pengawasan dan tekanan terhadap warga yang berbeda pendapat dengan penguasa ternyata bukan model yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: Menlu Rusia Sergei Lavrov : Negara Barat Memilih Semakin Diktator
Menurut Johanes, berbagai pernyataan yang disuarakan dalam protes di atas memperlihatkan bahwa rakyat China masih memiliki daftar kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk kebutuhan akan kebebasan dan sistem pemerintahan yang tidak bersifat diktator.
“Stabilitas itu hanya membuktikan keras dan kuatnya pengawasan dan pembungkaman terhadap suara yang berbeda dari pemerintah,” tutur Johanes.
Namun, menurut Johanes, sebagaimana juga terlihat dari rangkaian protes pada Oktober dan November 2022 lalu, pengawasan dan pembungkaman ternyata tidak selamanya efektif. Sebaliknya, pengawasan dan pembungkaman itu malah menjadi salah satu sumber masalah yang melahirkan ketidakpuasan.
“Lagi pula, seberapa pun kuat dan ketatnya pengawasan dan pembatasan bersuara, rakyat Cina, khususnya generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi dan media sosial, dapat menemukan celah untuk menyampaikan suara meraka,” lanjutnya.
Johanes juga memprediksi, gerakan protes seperti yang terjadi pada November 2023 yang lalu masih akan terus berlanjut.
“Berkaca dari rangkaian protes di atas, tak berlebihan bila kita memprediksi bahwa The Great Firewall, atau dinding api besar yang dibangun rezim komunis Cina untuk membentengi dirinya, akan menghadapi tantangan berupa strategi dan inovasi yang akan terus digagas oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan,” pungkasnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Prediksi Cina Akan Menjadi Negara yang Paling Banyak Investasi di Indonesia
Seminar ini juga menghadirkan pembicara Muhammad Farid, M.PA, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden. Pemerhati China yang juga sekretaris FSI itu mengatakatan, isu yang dibawa Gerakan Kertas Putih sendiri telah bergeser dari isu keresahan terhadap kebijakan zero Covid-19, menjadi isu kebebasan berekspresi.
"Demonstrasi di akhir 2022 kemarin adalah yang terbesar kedua setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen tahun 1989," ujarnya.
Menurut Farid, sejauh apa demonstrasi itu merupakan ancaman terhadap eksistensi pemerintah China masih harus diteliti lebih lanjut.