Pemerintah Sudan dijalankan oleh dewan jenderal sejak kudeta pada Oktober 2021.
Pada Desember 2022, kelompok sipil yang dikesampingkan oleh kudeta menandatangani kesepakatan awal dengan militer untuk memulai transisi politik baru selama dua tahun dan menunjuk pemerintahan sipil.
Namun muncul perselisihan mengenai apakah tentara akan ditempatkan di bawah pengawasan sipil dalam pemerintahan baru, dan bagaimana RSF akan diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata.
Presiden de facto negara itu, Abdel Fattah al-Burhan, mengepalai angkatan bersenjata Sudan (SAF).
Saingannya, adalah Jenderal dan Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Transisi yang berkuasa, Mohamed Hamdan Dagalo, kepala RSF yang memiliki pasukan sekitar 100.000 orang.
Dagalo ikut mengambil bagian dalam kudeta Sudan 2021 tetapi sejak itu menyebutnya sebagai 'kesalahan' menyusul bentrokan dengan Burhan.
Dagalo dan RSF masih berafiliasi dengan mantan presiden Omar al-Bashir, yang digulingkan pada 2019.
Pada 13 April 2023, ketika ketegangan meningkat, SAF memperingatkan bahwa mobilisasi RSF berisiko menimbulkan konflik.
Dua hari kemudian, pertempuran pecah saat personel RSF ditempatkan kembali di sekitar Sudan.
Kedua belah pihak saling menuduh memulai konflik, dan memberi isyarat bahwa mereka tidak mau bernegosiasi.
Pemerintah menyerukan agar RSF dibubarkan.
Sementara Dagalo meminta saingannya untuk menyerah.
Para diplomat top, termasuk Sekretaris Negara AS, sekretaris jenderal PBB, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, ketua Liga Arab dan ketua Komisi Uni Afrika mendesak kedua pihak untuk berhenti berperang.
Negara-negara Arab yang memiliki kepentingan di Sudan - Qatar, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab - juga menyerukan gencatan senjata dan kedua belah pihak kembali ke negosiasi.