"Korban tewas mungkin jauh lebih tinggi," kata Shamdasani, mengingat sulitnya mengumpulkan informasi saat ini.
Shamsadani mengatakan telah terjadi 'bentrokan sporadis antara komunitas Arab dan Massalit' di Darfur Barat, dan kekerasan antarkomunal seperti itu 'berasal dari afiliasi etnis nyata RSF dan SAF'.
"Lingkungan saat ini di Sudan menciptakan situasi yang matang untuk kekerasan lebih lanjut dan kekerasan kriminal oportunistik, ketegangan etnis yang sudah berlangsung lama mungkin akan kembali terjadi," tegas Shamsadani.
Di ibu kota Sudan, Khartoum, saksi mata mengatakan bahwa beberapa jam menjelang gencatan senjata terakhir pada Jumat kemarin, pertempuran antara angkatan bersenjata dan RSF terdengar, dengan baku tembak hebat terjadi di dekat Istana Kepresidenan di pusat kota.
Warga Khartoum, Al-Jamil Al-Fadil mengatakan bahwa proyektil jatuh di lingkungan itu.
"Di daerah Kafouri di utara kota, di udara, pesawat tempur diserang rudal anti-pesawat," kata Al-Jamil.
RSF mengklaim pada Jumat kemarin bahwa mereka menguasai lebih dari 90 persen negara bagian Khartoum yang merupakan negara bagian terpadat di Sudan, dengan sekitar 8 juta orang.
Kedua faksi juga saling tuduh melakukan pelanggaran.
Angkatan Bersenjata Sudan mengatakan RSF menargetkan pensiunan perwira militer dan polisi, sementara RSF menuding Angkatan Bersenjata Sudan menyerang posisinya saat gencatan senjata.
"Sebuah pesawat evakuasi Turki C130 ditembak di atas langit Sudan pada Jumat pagi, namun kemudian mendarat dengan selamat tanpa cedera," Kementerian Pertahanan Turki di Twitter.
Baca juga: Kisah Pelajar Indonesia di Sudan Dievakuasi: Tempuh Perjalanan Darat 16 Jam dan Jalur Laut 20 jam
Terkait hal ini, Angkatan Bersenjata Sudan menuduh RSF menembak dan merusak pesawat itu saat bersiap mendarat di bandara Wadi Seyidna utara Khartoum.
Namun RSF membantah tuduhan itu dengan mengatakan mereka tidak menguasai daerah tersebut.