TRIBUNNEWS.COM - Soeharto resmi lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI usai gelombang protes dan kerusuhan di seluruh negeri.
Presiden RI ke-2 tersebut resmi mengakhiri jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun pada 21 Mei 1998, tepat 25 tahun silam.
Jauh sebelum Soeharto lengser, berbagai rentetan peristiwa telah menunjukkan tanda-tanda hilangnya pengaruh Jenderal besar ini.
Jatuhnya Soeharto membawa kebebasan baru tidak hanya bagi orang Indonesia, tetapi juga bagi etnis Tionghoa yang mengalami diskriminasi oleh rezim Orde Baru (Orba).
Soeharto dikenal mengadopsi kebijakan untuk mengasimilasi etnis minoritas Tionghoa dan menjadikan mereka lebih 'Indonesia'.
Etnis Tionghoa dipaksa untuk menggunakan nama ala Indonesia dan sering diminta untuk menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).
Baca juga: Lengsernya Soeharto 25 Tahun Silam: Kerusuhan Mei 1998, Pidato Terakhir hingga Digantikan BJ Habibie
Di masa pemerintahan Soeharto, pertunjukan budaya seperti aksara Tionghoa dan perayaan Tahun Baru Imlek dilarang.
Menurut sensus penduduk nasional tahun 2010, terdapat sekitar 2,8 juta orang etnis Tionghoa di Indonesia, sementara total penduduk sekitar 237 juta.
Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 1945, penguasa kolonial Belanda mengklasifikasikan etnis Tionghoa di tengah piramida sosial.
Etnis Tionghoa ditempatkan di bawah orang Eropa dan di atas pribumi.
Sekarang, keadaan sudah berubah.
Tahun Baru Imlek sekarang menjadi hari libur nasional, sementara Konfusianisme – dikenal sebagai Konghucu – telah diakui sebagai salah satu dari enam agama di Indonesia.
Kini SBKRI tidak lagi dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang Tionghoa Indonesia juga semakin terlihat dalam politik sejak 1998, termasuk mantan menteri pemerintah Indonesia, Mari Elka Pangestu, dan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai Ahok.