Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Swedia tengah mendekati tonggak bersejarah menjadi negara bebas asap pertama di Eropa.
Pada November 2022, Pemerintah Swedia mengonfirmasi tingkat merokok di negara tersebut turun menjadi 5,16 persen dari 11 persen pada 2015.
Capaian itu diwujudkan melalui strategi pengurangan bahaya tembakau dengan memanfaatkan produk tembakau alternatif.
Gambaran tersebut dipaparkan dalam seminar internasional Stockholm. Ketua Asosiasi Medis Swedia yang juga pakar kesehatan global Dr. Anders Milton, peneliti ketergantungan rokok dan indeks berat merokok Swedia Prof. Karl Fagerstrom, dan mantan Penasihat Masalah Kesehatan Masyarakat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Delon Human, berjudul The Swedish Experience: A Roadmap for a Smoke-Free Society.
Dalam ulasannya, strategi pengurangan bahaya tembakau menjadi faktor penting dalam menurunkan prevalensi merokok di negara Skandinavia tersebut.
Strategi pengurangan bahaya tembakau yang diberlakukan Pemerintah Swedia yaitu mendukung penggunaan produk tembakau alternatif sebagai pilihan yang lebih rendah risiko bagi perokok dewasa.
Baca juga: Pakar Kebijakan: Penyetaraan Produk Tembakau dengan Narkotika Akan Picu Masalah Sosial
"Produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik atau vape, dan kantong nikotin, memiliki profil risiko hingga 95 persen lebih rendah dibandingkan rokok. Dengan demikian, produk ini dapat menjadi pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa yang memilih untuk terus menggunakan produk tembakau,” kata Delon Human, dikutip Minggu (18/6/2023).
Delon menambahkan berkat pemanfaatan produk tembakau alternatif, persentase perokok di Swedia turun drastis.
Karl Fagerstrom mengungkapkan, selain menurunkan prevalensi merokok, pemanfaatan produk tembakau alternatif juga berdampak positif terhadap rendahnya persentase penyakit yang berkaitan dengan merokok dan insiden kanker sekitar 41 persen lebih kecil dibandingkan negara-negara di Eropa.
"Akan sangat bermanfaat bagi dunia jika lebih banyak negara yang menerapkan strategi seperti Swedia sebagai upaya mengurangi prevalensi merokok, khususnya kepada perokok dewasa untuk beralih dari kebiasaan merokok ke produk yang lebih rendah risiko,”ujar Karl yang juga penulis The Swedish Experience: A Roadmap for a Smoke-Free Society.
Pada kesempatan berbeda, akademisi dari Fakultas Kesehatan Gigi Universitas Padjadjaran, Amaliya mengatakan produk tembakau alternatif sudah selayaknya dikedepankan menjadi opsi bagi perokok dewasa untuk mendapatkan nikotin,lantaran telah terbukti secara kajian ilmiah memiliki profil risiko yang lebih rendah.
Hal ini juga dibuktikan melalui kajian klinis yang dilakukan Amaliya bersama Agus Susanto serta Jimmy Gunawan dengan tajuk Respon Gusi Pada Pengguna Vape (Rokok Elektrik) Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental).
"Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna rokok elektrik yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna rokok elektrik telah kembali normal," kata Amaliya.
Dengan fakta tersebut, Amaliya menilai pemerintah seharusnya memaksimalkan produk ini untuk menurunkan prevalensi merokok sekaligus meningkatkan perbaikan kesehatan publik.
Untuk itu, produk tembakau alternatif dinilai dapat menjadi solusi komplementer dari berbagai program dan upaya yang telah dijalankan pemerintah selama ini.
"Melihat bukti-bukti ilmiah yang ada, pemerintah harus bersikap lebih terbuka untuk dapat melihat profil risiko yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif dan memanfaatkannya secara optimal,” tandas Amaliya.