Nesreen menyaksikan salah satu muridnya yang bernama Khadijah dalam keadaan tidak bernyawa.
Tim penyelamat menemukan bocah berusia enam tahun itu terbaring di samping abangnya, Mohamed, dan dua kakak perempuannya, Mena dan Hanan.
Mereka semua berada di ranjang mereka saat gempa berlangsung. Keempat anak tersebut merupakan murid di sekolah Nesreen.
"Khadijah adalah favorit saya. Dia sangat baik, pintar, aktif dan suka menyanyi. Dia sering datang ke rumah saya, dan saya suka belajar dan berbicara dengannya".
Malaikat
Nesreen menyebut murid-muridnya sebagai "malaikat", anak-anak penuh hormat yang bersemangat untuk belajar.
Meski berjuang melawan kemiskinan dan krisis biaya hidup yang parah, anak-anak dan keluarga mereka menganggap bersekolah sebagai "hal terpenting di dunia".
"Kelas terakhir kami diadakan pada Jumat malam, tepat lima jam sebelum gempa terjadi," kenang Nesreen.
"Kami sedang mempelajari lagu kebangsaan Maroko, dan berencana menyanyikannya di depan seluruh sekolah pada Senin pagi."
'Saya tidak tahu bagaimana saya bisa terus menjalani hidup'
Meski suaranya tenang, Nesreen menderita trauma. Dia masih belum bisa memproses apa yang terjadi pada murid-muridnya dan sekolahnya.
"Saya tidak tidur; saya masih syok," ujarnya. "Orang-orang menganggap saya salah satu yang beruntung, tapi saya tidak tahu bagaimana saya bisa terus menjalani hidup."
Nesreen senang mengajar bahasa Arab dan Prancis kepada anak-anak di Adaseel, sebuah desa yang dihuni oleh kaum Amazigh, penduduk asli Afrika Utara yang sebagian besar berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yaitu Tamazight.