“Untuk mendapatkan sekantong roti, kami harus bangun subuh dan berjalan kaki sekitar 60 menit untuk mencapai satu-satunya toko roti yang masih belum dibom di daerah kami,” ujarnya.
“Kami menunggu dalam antrian di mana ratusan orang, yang datang dari seluruh distrik di sekitar Jalur Gaza, berdiri, dan setelah sekitar dua atau tiga jam kami akhirnya mendapatkan satu kantong roti.”
Karena kurangnya tepung, air, dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan mesin dan memanggang roti, pemilik toko roti kini hanya menjual satu kantong roti kepada setiap orang untuk memenuhi kebutuhan sebanyak mungkin keluarga.
Keluarga yang membutuhkan lebih dari satu tas harus mengirimkan beberapa anggotanya untuk mengantri di luar toko roti dan membeli masing-masing satu tas.
“Tentu saja kami tidak memasak karena kami tidak mempunyai gas untuk memasak, air dan sayuran yang cukup. Jadi kami hanya mengandalkan makanan kaleng. Tapi makanan kaleng membutuhkan banyak roti, jadi kami selalu berada dalam dilema yang tak ada habisnya memikirkan apa yang harus dimakan. dan apa yang harus diberikan kepada anak-anak,” tutur Salma Radi.
“Karena tidak ada air, kami memandikan anak-anak hanya dengan tisu basah. Mereka mulai alergi dan infeksi kulit karena kondisi sanitasi yang buruk," lanjutnya.
“Setiap hari kami mengatakan bahwa hal ini akan segera berakhir, namun keadaannya malah bertambah buruk. Setiap hari kami mengatakan bahwa mereka tidak akan menargetkan tempat-tempat di sekitar kami, namun mereka mengebom lebih banyak rumah di lingkungan kami.
"Kami tidak menyangka akan mengalami hal buruk yang menjadi mimpi terburuk kami," ungkapnya.