TRIBUNNEWS.COM - Pemungutan suara atau voting rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali membuat dilema.
Voting yang dijadwalkan akan dilakukan dari Senin (18/12/2023) tertunda bahkan sampai Jumat (22/12/2023).
Rancangan resolusi tersebut dibuat dengan tujuan agar akses bantuan kemanusiaan ke Gaza bisa masuk.
Seorang analis Timur Tengah, Mouin Rabbani, mengatakan dilemanya adalah "resolusi apa pun yang dapat membuat perbedaan penting dalam situasi di Jalur Gaza, pasti akan diveto oleh Amerika Serikat (AS)".
"Dan resolusi apa pun yang Amerika Serikat rasa mampu dukung pada dasarnya tidak ada artinya bagi penduduk yang terkepung di wilayah kantong Palestina," kata Rabbani kepada Al Jazeera.
Baca juga: Voting Rencana Resolusi Dewan Keamanan PBB soal Akses Bantuan ke Jalur Gaza Ditunda Lagi, Kenapa?
Rabbani juga mengatakan ada laporan bahwa AS bersikeras untuk menghapus referensi permintaan semua pihak untuk menghormati hukum kemanusiaan internasional dari rancangan resolusi Gaza terbaru di Dewan Keamanan.
"Jadi, pada dasarnya, AS memilih untuk melanjutkan pengepungan, melanjutkan pembunuhan massal di Jalur Gaza, dan yang paling penting, gagasan bantuan kemanusiaan tanpa gencatan senjata sama sekali tidak ada artinya dan hanya ilusi,"kata Rabbani.
"Siapa yang waras dan percaya bahwa bantuan kemanusiaan dapat disalurkan ke seluruh Jalur Gaza kepada semua yang membutuhkan, sementara Jalur Gaza sedang mengalami serangan bom paling intensif sepanjang sejarah Timur Tengah?" tanyanya.
Anggota Dewan Keamanan PBB secara intensif masih merundingkan mengenai resolusi soal akses bantuan ke Jalur Gaza, dengan berupaya menghentikan pertempuran, sambil mencoba menghindari veto dari Amerika Serikat lagi.
Rancangan resolusi tersebut dikenalkan oleh Uni Emirat Arab (UEA) pada Senin (18/12/2023).
Namun, rancangan resolusi memicu perselisihan mengenai bahasa yang digunakan.
Baca juga: Voting Rencana Resolusi Dewan Keamanan PBB soal Akses Bantuan ke Jalur Gaza Ditunda
Draf awal menyerukan "penghentian permusuhan yang mendesak dan berkelanjutan", sedangkan versi terbaru melunakkan bahasa tersebut.
Isinya menggunakan bahasa lebih halus dengan menyebutkan "penangguhan segera permusuhan".
Resolusi-resolusi sebelumnya telah diveto di dewan tersebut oleh AS.
Negosiasi yang sedang berlangsung sekarang tampaknya bertujuan untuk menemukan bahasa yang lebih cocok bagi Washington.
Baca juga: Korban Tewas Akibat Perang Israel-Hamas Tembus 20.000 Orang Saat DK PBB Tunda Pemungutan Suara
UEA, yang pada dasarnya merupakan sponsor rancangan resolusi ini, menyetujui hal tersebut.
"Kami yakin, Amerika Serikat menolak hal tersebut," kata UEA.
"Kita memerlukan lebih banyak waktu untuk menegosiasikan hal ini," urai UEA, dilansir Al Jazeera.
Kemudian, UEA mengubah bahasa rancangan resolusi menjadi "penangguhan mendesak" permusuhan, yang memiliki arti kurang permanen dibandingkan "penghentian berkelanjutan".
Setidaknya diyakini bahwa hal itu adalah sesuatu yang mungkin bisa dipilih oleh AS.
Namun, negosiasi masih berlanjut hingga saat ini.
Resolusi dewan memerlukan setidaknya sembilan suara setuju dan tidak ada veto dari AS, Prancis, Tiongkok, Inggris, atau Rusia.
Baca juga: Hindari Veto AS, PBB Kembali Tunda Pemungutan Suara untuk Pengiriman Bantuan ke Gaza
Awal bulan ini, Washington memveto resolusi dewan beranggotakan 15 orang yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera antara Israel dan militan Palestina di Gaza.
Dikutip dari The Guardian, Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 orang kemudian menuntut gencatan senjata pekan lalu dan 153 negara memberikan suara untuk mendukungnya.
Rancangan terbaru yang disiapkan oleh Uni Emirat Arab mengutuk semua tindakan terorisme, dan menyerukan pembebasan semua sandera tanpa syarat.
Amerika Serikat dan Israel menentang gencatan senjata karena mereka yakin hal itu hanya akan menguntungkan Hamas.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)