Presiden Hadi kemudian kabur keluar negeri beberapa bulan usai lengser.
Pemberontak Houthi kemudian mengambil alih dan beroperasi sebagai pemerintah de facto Yaman, namun belum mendapat pengakuan di PBB.
Baca juga: Rudal Houthi di Laut Merah Diduga Pakai Teknologi China, Ansarallah Duluan Pakai Ketimbang PLA?
PBB malah mengakui 'Dewan Kepemimpinan Presiden' yang dibentuk di Riyadh, Arab Saudi, pada tahun 2022.
Walaupun kelompok ini tidak mendapat pengakuan internasional sebagai kekuatan pemerintahan Yaman, kelompok ini menguasai lebih dari 80% persen populasi.
Houthi mendapat dukungan dari dua pertiga angkatan bersenjata negara tersebut, dan menjalankan pemerintahan di Sanaa.
Sementara Barack Obama Presiden AS saat itu mendukung intervensi koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman pada tahun 2015.
Sejak itu, sekitar 377.000 orang tewas, sebagian besar akibat blokade mematikan yang diberlakukan terhadap sebagian besar penduduk negara tersebut.
Konteks di atas sangat penting untuk memahami kemampuan Ansarallah Yaman, yang diremehkan sebagai kelompok “pemberontak yang disebut-sebut didukung Iran” di media korporat Barat selama bertahun-tahun.
Meskipun pemerintah negara-negara Barat berusaha berpura-pura bahwa kelompok Yaman tidak signifikan, keputusan Washington baru-baru ini untuk membentuk koalisi angkatan laut multi-nasional untuk menghadapi Houthi adalah sebuah pengakuan bahwa mereka adalah aktor regional yang besar.
Faktanya, Ansarallah adalah satu-satunya gerakan Arab yang mengontrol aset negara dan tentara tetap yang berpartisipasi dalam perang yang sedang berlangsung dengan Israel.
Houthi kini menjadi musuh nyata bagi Israel dari arah Selatan. Meski mereka tak menyerang secara langsung daratan Israel layaknya Hizbullah, akan tetapi bisa menghancurkan ekonomi negara Yahudi tersebut.
Penghasilan Merosot Tajam
Gara-gara aksi Houthi ini, penghasilan Israel dari jasa kepelabuhanan merosot tajam. Pendapatan Pelabuhan Eilat di Israel anjlok hingga 80 persen karena serangan Houthi Yaman selama ini atas kapal-kapal barang di Laut Merah.
Pelabuhan Eilat berada di selatan Israel dan merupakan pelabuhan tersibuk ketiga di Israel. Pelabuhan ini sangat menderita sejak awal serangan dari Yaman.
CEO Pelabuhan Eilat, Gideon Golber mengatakan akibat krisis keamanan yang meningkat, manajemen Pelabuhan Eilat akan meminta kompensasi kepada Pemerintah Israel atas hilangnya sebagian pendapatan.