TRIBUNNEWS.COM -- Seorang mantan ajudan Presiden Volodymyr Zelensky secara blak-blakan mengungkapkan batalnya perjanjian damai antara Ukraina dengan Rusia.
Aleksey Arestovich, mantan ajudan tersebut menceritakan bahwa Presiden Zelensky, tiba-tiba berubah pikiran setelah dijadwalkan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2022 lalu.
Arestovich yang dikenal sebagai spin doctor tersebut meninggalkan dinas kepresidenan dan kini telah setahun tinggal di Amerika Serikat. Militer Ukraina sendiri saat ini justru memburunya sebagai pengkhianat politik.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-692: Rusia Menghukum 242 Tawanan Perang
Dalam sebuah wawancara dengan media asal Inggris, UnHerd, yang diterbitkan pada Senin (15/1/2024) Arestovich mengungkapkan bahwa proses Istanbul adalah kesempatan paling menguntungkan bagi Ukraina untuk menggelar perdamaian.
“Saya adalah anggota dari proses Istanbul. Delegasi Ukraina “membuka botol sampanye” ketika mereka kembali ke Kiev, percaya bahwa perjanjian tersebut telah selesai," ujar dia dikutip Tribunnews.com, Selasa (16/1/2024).
Para petinggi di Kiev sudah percaya bahwa protokol tersebut “90 persen dipersiapkan” untuk pertemuan langsung antara Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Akan tetapi, lanjut Arestovich, presiden Ukraina membatalkan pembicaraan.
Penolakannya terhadap kesepakatan tersebut banyak dikaitkan dengan 'pembantaian Bucha', yang dituduhkan oleh Ukraina kepada Rusia, namun Arestovich mengatakan dia tidak mengetahui fakta tersebut.
Sesuatu “benar-benar” mengubah pikiran Zelensky dan “sejarawan harus menemukan jawaban atas apa yang terjadi,” kata Arestovich.
“Banyak orang mengatakan Perdana Menteri (Inggris) Boris Johnson-lah yang datang ke Kiev dan menghentikan negosiasi dengan Rusia. Saya tidak tahu persis apakah itu benar atau salah. Dia datang ke Kiev, tapi tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan kecuali, menurut saya, Zelensky dan Boris Johnson sendiri,” katanya kepada UnHerd.
Media Ukraina, Ukrainska Pravda menyebut Johnson menggagalkan perundingan perdamaian di Istanbul dilaporkan pada awal Mei 2022 .
Baca juga: Perdana, Korea Utara Izinkan Turis Asing Masuk Lagi setelah 4 Tahun, Rusia jadi Wisatawan Pertama
Arestovich kemudian mengutarakan bahwa peperangan tersebut kini telah berkembang melampaui Rusia dan Ukraina, mengadu domba kolektif Barat melawan ‘Global Selatan’.
“Kita harus bernegosiasi untuk sistem keamanan baru bagi Eropa, dengan mempertimbangkan semua sisi dari masalah ini,” katanya kepada UnHerd, seraya menambahkan bahwa NATO perlu berdiskusi dengan Rusia “apa yang diperlukan untuk menjamin tidak menggunakan kekuatan militer di Eropa untuk memutuskan pertanyaan-pertanyaan politik.”
“Saya mungkin harus menambahkan bahwa saya sangat pesimistis hal ini akan terjadi. Saya pikir kita menghadapi perang selama sepuluh atau 15 tahun di Eropa,” kata Arestovich.