Tembok Tujuh Meter di Rafah dan Perjanjian Rahasia Mesir-Israel-AS Buat Hancurkan Hamas
TRIBUNNEWS.COM - Respons Mesir atas niatan Israel melancarkan invasi militer darat ke Kota Rafah, wilayah perbatasan dengan Sinai, dinilai masih ambigu.
Analis dan penulis Memo, Mahmoud Hassan menguraikan, sikap Mesir sejauh ini menunjukkan kebimbangan dan mengindikasikan kalau Kairo memiliki perjanjian rahasia dengan Israel dan Amerika Serikat (AS) terkait pemberangusan Hamas.
Ulasannya mendasarkan kalau ketiganya, baik Israel, AS, maupun Mesir sendiri, sangat membenci Hamas, gerakan perlawanan Palestina yang bertujuan memerdekakan negara mereka.
Baca juga: Tragedi Nakba 2 di Depan Mata: Mesir Bangun Tembok 7 Meter Penyangga Gaza, Israel Ngotot Serbu Rafah
Mesir Bimbang
Tanda-tanda Israel segera menyerbu dengan serangan darat Israel ke kota Rafah di Palestina memang kian jelas.
Israel, dengan dalih membebaskan tahanan Israel dan menghancurkan brigade Hamas di selatan Jalur Gaza, di perbatasan dengan Mesir, ngotot ingin menyerbu ke Rafah.
Hal itu mengabaikan kekhawatiran akan bencana kemanusiaan yang akan memperburuk kondisi tragis di Jalur Gaza, yang sudah memasuki bulan kelima serangan.
Israel bekerja cepat untuk mendapatkan lampu hijau dari Amerika Serikat, dan mungkin negara lain, untuk melancarkan serangan.
"Posisi Mesir mengenai hal ini masih ambigu. Mesir tampaknya bimbang antara menolak serangan itu atau menerimanya dan menanggung konsekuensinya. Mungkin rezim (pemerintahan Mesir) masih menunggu pengaturan rahasia lebih lanjut," tulis Mahmoud Hassan dalam ulasan yang mengindikasikan adanya kesepakatan rahasia tersebut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, Israel sedang dalam proses mengembangkan rencana ganda untuk mengevakuasi warga sipil dari Rafah dan menghancurkan brigade Hamas yang tersisa.
Namun, menduduki kembali Jalur Gaza, atau secara khusus mengendalikan koridor Philadelphi (Salah Al-Din) di perbatasan dengan Mesir, tetap menjadi agenda Tel Aviv, dengan dalih menghancurkan terowongan dan mencegah senjata mencapai kelompok perlawanan.
Perjanjian Rahasia
Netanyahu mengatakan, tidak mungkin meraih target perang di Gaza sementara Hamas mempertahankan empat brigadenya di Rafah.
"Ini berarti bahwa pemboman lebih lanjut dan invasi darat akan terjadi di Jalur Gaza selatan, yang berpenduduk padat dan menampung sekitar 1,4 juta warga Palestina yang mengungsi dari wilayah utara dan tengah. Hal ini dapat menyebabkan pembantaian berdarah terhadap ribuan warga sipil dan membuka jalan bagi eksodus ke Mesir," tulis analis geopolitik asal Mesir tersebut.
Pasukan Pendudukan Israel tampaknya telah menyelesaikan rencana invasi ke Rafah, namun para perwira senior masih menunggu persetujuan Kairo, baik secara diam-diam atau terbuka.
"Pengaturan harus dilakukan sebelum dan sesudah operasi; kerugian manusia harus diperkirakan; dan perpindahan penduduk – sekali lagi – ke pusat atau utara Jalur Gaza sampai serangan berakhir, atau ke Mesir, “sementara”, atau sampai pemberitahuan lebih lanjut," tulis Mahmoud Hassan.
Mahmoud Hassan kemudian mengutip pernyataan Israel Katz, menteri luar negeri Israel, terkait koordinasi negara pendudukan dengan Kairo.
“Kami akan menangani Rafah setelah kami berbicara dengan Mesir mengenai masalah ini,” kata Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz pada hari Jumat.
“Ini akan kami koordinasikan. Kami memiliki perjanjian damai dengan mereka, dan kami akan menemukan tempat yang tidak akan merugikan orang Mesir. Kami akan mengoordinasikan segalanya dan tidak akan merugikan kepentingan mereka,” kata Israel Katz.
Mesir Seolah Terpaksa Menerima Gelombang Pengungsi
Atas pernyataan ini, Hassan menyebutkan beberapa indikasi, termasuk trik Israel agar Hamas melunak di meja perundingan.
Israel belakangan dilaporkan mundur dari kesepakatan gencatan senjata ini, namun meja negosiasi belum tertutup sepenuhnya.
Baca juga: Israel Mundur dari Perjanjian Gencatan Senjata, Hamas: Kawasan Ini Tak Akan Tenang
Namun, indikasi paling kuat dari pernyataan Israel Katz, kata Hassan, adalah adanya semacam perjanjian rahasia antara Mesir dan Israel, juga AS, agar Mesir seolah-olah terpaksa menerima gelombang pengungsi Palestina yang eksodus karena bombardemen Rafah nantinya.
"Pakar politik mengatakan kepada saya kalau serangan tersebut, pada pandangan pertama, tampaknya ditujukan untuk mengurangi batas atas tuntutan yang diajukan oleh Hamas di meja perundingan. Namun hal ini mungkin merupakan kedok untuk meloloskan perjanjian perpindahan (eksodus pengungsi) rahasia, yang dibuat dalam sebuah kesepakatan, sebuah cara yang membuat Mesir tampak seolah-olah terpaksa menerima gelombang besar warga Palestina. Tampaknya ada kesepakatan Israel-AS-Mesir mengenai perlunya melenyapkan Hamas dan merumuskan kembali pemerintahan di Jalur Gaza,' beber Mahmud Hassan.
Dia lalu mengulas betapa Mesir berulang kali membantah menyiapkan semacam buffer zone, zona penyangga di wilayah Mesir bagi pengungsi Palestina di Rafah.
Namun, Mesir juga menyiratkan kesediaannya menampung para pengungsi tersebut.
Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry mengatakan pada Konferensi Keamanan Munich pada Sabtu bahwa Mesir tidak memiliki rencana untuk menampung warga Palestina yang mungkin mengungsi dari Rafah.
“Kami tidak mempunyai niat untuk menyediakan daerah yang aman bagi para pengungsi, Tetapi jika hal tersebut dipaksakan kepada kami, kami akan menangani situasi ini dan memberikan dukungan kemanusiaan,” kata Shoukry.
Mesir Juga Musuhi Hamas
Bagi Hassan, pernyataan Shoukry ini merupakan indikasi jelas penerimaan Mesir atas konsekuensi serangan darat Israel di Rafah.
"Satu di antara (sebabnya) karena Shukri juga menyerang Hamas, menuntut agar para pendukung dan penyandang dananya bertanggung jawab, dan mengklaim bahwa gerakan tersebut berada di luar konsensus Palestina," kata Hassan.
Keinginan Mesir agar Hamas lenyap, disiratkan Hassan membuat Kairo mengeyampingkan 'pelanggaran' yang dibuat Israel, baik secara teritorial maupun dalam konteks perjanjian perdamaian kedua negara.
Hassan membeberkan, di depan publik, ketidaksepakatan Mesir atas niat Israel menyerang Rafah berkisar pada sejauh mana komitmen Israel terhadap ketentuan Perjanjian Camp David yang ditandatangani dengan Mesir pada tahun 1979, dan kebutuhan Tel Aviv untuk mendatangkan pasukan udara dan darat serta alat berat.
Hal ini melanggar ketentuan perjanjian mengenai Area D di mana Rafah berada, yang menentukan berapa jumlah tentara yang ada di sana dan jenis senjata yang dapat dikerahkan.
Sebagai informasi, area D terletak di antara garis perbatasan Mesir-Israel dan Jalur D yang membentang dari timur Rafah hingga Eilat.
Lampiran perjanjian perdamaian Kairo-Tel Aviv memungkinkan Israel untuk menempatkan pasukan terbatas di wilayah ini yang terdiri dari empat batalyon infanteri, tidak dilengkapi dengan tank atau artileri, hanya rudal permukaan-ke-udara.
Jumlah total tentara Israel di empat batalyon tidak boleh melebihi 4.000 orang dan 180 kendaraan.
Hal yang mencolok adalah penolakan Mesir untuk membiarkan Israel mengirim pasukan ke Rafah, menduduki koridor Philadelphia dan mengancam untuk menunda perjanjian perdamaian, dikeluarkan oleh Layanan Informasi Mesir, sebuah lembaga media yang berafiliasi dengan kepresidenan.
Namun, segera setelah itu, Shukri segera mengkonfirmasi kalau perjanjian perdamaian antara negaranya dan Israel yang telah berlaku selama 40 tahun terakhir, akan terus berlaku, terlepas dari komentar apa pun yang dibuat mengenai masalah ini.
Baca juga: Menteri Israel: Perang Lawan Hamas Jalan Terus Saat Ramadan, Mesir Bantu Siapkan Serbuan Rafah
Mempertimbangkan hal tersebut, kemungkinan besar akan terjadi kesepahaman dan koordinasi tingkat tinggi antar-pemimimpin kedua negara.
Hal ini akan mencakup skala kehadiran militer, periode penempatan pasukan Israel di Rafah, jenis senjata yang digunakan, pertukaran informasi, intensifikasi patroli pengawasan, dan rincian lain mengenai pelaksanaan operasi tersebut. (Rencana kesepakatan) Direncanakan selesai sebelum datangnya bulan Ramadan.
Baca juga: Israel Gempar, AS Kebut Rencana Pendirian Negara Palestina: Gencatan Senjata Sebelum Ramadan
"Pemahaman ini mungkin memberikan fleksibilitas bagi pihak Mesir dalam mengutuk serangan Israel, mungkin mengurangi perwakilan diplomatik, dan mengambil langkah-langkah praktis yang membersihkan citra Kairo dan menunjukkan kalau rezim Presiden Abdel Fattah Al-Sisi menolak serangan semacam itu," kata Hassan dalam analisisnya terkait manuver Mesir menyikapi niat brutal Israel menginvasi Rafah.
Teori ambiguitas Mesir ini didasarkan pada preseden sejarah yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika rezim Sisi mengizinkan pesawat Israel melakukan lebih dari 100 serangan udara selama dua tahun, terhadap ISIS/Daesh di Semenanjung Sinai, sesuai dengan perjanjian dengan Israel, menurut laporan New York Times yang diterbitkan pada Februari 2018.
Tembok 7 Meter, Zona Penyangga Agar Hamas Terpojok
Rencana yang diusulkan dalam rencana invasi darat Rafah termasuk mengevakuasi penduduk Rafah, membuka koridor yang aman, memasang gerbang elektronik untuk memeriksa para pengungsi di selatan dan mengangkut mereka ke utara, mendirikan kamp-kamp di pantai Gaza, dan kemudian melakukan operasi militer darat di Rafah. Mesir akan memberikan layanan kesehatan dan bantuan melalui laut, Washington Post melaporkan.
Perbatasan Mesir dengan Gaza hanya sepanjang 14 kilometer, dan baru-baru ini menjadi saksi aktivitas militer dan keamanan termasuk sekitar 40 tank dan pengangkut personel lapis baja di Rafah, helikopter militer, tim teknik yang membangun zona penyangga, dan pembangunan kotak keamanan yang dikelilingi tembok tujuh meter di dalam Mesir.
Penduduk Rafah di sisi perbatasan Mesir telah mengungsi beberapa tahun yang lalu dan wilayah tersebut sekarang siap menerima gelombang pengungsi Palestina, asalkan wilayah tersebut merupakan zona keamanan tertutup di Sinai.
Yayasan Hak Asasi Manusia Sinai yang berbasis di Inggris menegaskan, pekerjaan konstruksi saat ini sedang berlangsung dengan pesat untuk menciptakan zona keamanan terisolasi di perbatasan dengan Jalur Gaza, di bawah pengawasan Otoritas Teknik Angkatan Darat Mesir.
Hal ini kemudian dibenarkan oleh Reuters, mengutip empat narasumber Mesir, yang melaporkan bahwa Mesir telah mulai mempersiapkan kawasan untuk menampung pengungsi Palestina.
Berita mengenai hal ini didukung oleh citra satelit yang menunjukkan kalau pihak berwenang Mesir sedang membangun tembok dan meratakan tanah di dekat perbatasan dengan Jalur Gaza, kata laporan Associated Press.
Rafah Palestina adalah rumah bagi salah satu divisi terkuat sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, yang mempertahankan kesiapan tempur penuh dengan 10.000 pejuang.
Faksi perlawanan lainnya juga mempunyai kehadiran militer di sana beserta infrastruktur militer yang belum rusak, tidak seperti wilayah utara dan tengah Jalur Gaza.
Para pengamat menilai tujuan operasi Rafah adalah untuk menduduki koridor Philadelphia, yang dianggap Israel sebagai jalur pasokan militer ke Jalur Gaza dan rahasia di balik ketabahan Hamas sejak Oktober.
Menurut perkiraan intelijen, koridor tersebut adalah pusat terowongan penyelundupan senjata, dan mungkin markas operasional Al-Qassam.
Seorang pakar politik Mesir, yang tidak ingin disebutkan namanya, berpendapat bahwa yang lebih berbahaya adalah operasi militer darat Rafah dapat membuat milisi perlawanan (Hamas Cs) berada dalam di antara tekanan militer Israel di satu sisi dan Mesir di sisi lain.
Rezim Mesir tidak menoleransi Hamas, dan beberapa hari yang lalu presiden AS meminta pertanggungjawaban Al-Sisi karena tidak membuka perbatasan Rafah untuk memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan.
Mereka yang pesimistis mengenai potensi serangan tersebut mengungkapkan kekhawatiran bahwa Kairo mungkin memberikan informasi intelijen dan layanan logistik yang akan berguna bagi pihak Israel dan meningkatkan tekanan terhadap Hamas, dengan imbalan konsesi keuangan dan bantuan AS.
Hal ini akan menempatkan kelompok perlawanan di bawah tekanan besar dan memaksa mereka untuk membuat konsesi selama proses negosiasi yang tidak bisa dihindari.
Sejauh ini, Israel memang enggan mengirimkan perwakilannya ke Kairo untuk bernegosiasi dengan mediator dan Hamas terkait pertukaran tawanan. Namun, meja negosiasi belum tertutup sepenuhnya.
Upaya Mesir untuk memojokkan Hamas dari seberang dikhawatirkan akan membawa perang Gaza meluas ke wilayah negara tersebut.
"Masyarakat Mesir sudah khawatir, aktivitas mencurigakan yang sedang berlangsung dapat mengungkap sebuah skenario di mana perang Israel melawan Palestina di Gaza dapat meluas ke Mesir, atau hal ini hanya dipromosikan sebagai kedok," kata Hassan.
Sementara itu, tambahnya, kenyataannya ada perjanjian rahasia mengenai pengungsian sementara, atau bahkan permanen, yang diatur sedemikian rupa sehingga Mesir dibuat seolah-olah terpaksa membuka perbatasan bagi pengungsi Palestina.
(oln/memo/*)