Menteri Luar Negeri Rusia Mengatakan Tragedi Gaza Sengaja Diremehkan, Begini Kata Sergey Lavrov
TRIBUNNEWS.COM- Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengatakan skala tragedi di Gaza sengaja diremehkan.
Skala tragedi di Gaza sengaja diremehkan, kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov pada hari Kamis (22/2/2024), Anadolu Agency melaporkan.
“Skala tragedi di Gaza sengaja diremehkan karena dalam waktu kurang dari lima bulan, lebih banyak warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, yang terbunuh dibandingkan kejadian di Donbas dalam 10 tahun sejak kudeta inkonstitusional di Kyiv,” kata Lavrov berbicara pada pertemuan tingkat menteri G20 di Rio de Janeiro, Brasil.
Menteri mencatat bahwa G20 akan sulit menemukan solusi terhadap akumulasi tantangan dan ancaman terhadap keamanan global.
Lavrov mengatakan negara-negara bekas Uni Soviet dan Amerika Serikat telah membentuk basis untuk mengendalikan risiko militer dan memastikan keamanan strategis, terutama di Eropa, "tetapi hal ini telah dihancurkan”.
Baca juga: Bantuan dari Malaysia Akhirnya Bisa Masuk Gaza Setelah PM Anwar Ibrahim Menelepon Presiden Mesir
“Dengan provokasi Barat, fondasi komunikasi internasional dirusak dan prinsip-prinsip Piagam PBB serta peraturan hukum global dilanggar, termasuk kesetaraan kedaulatan antar negara, tidak adanya campur tangan dalam urusan dalam negeri mereka, dan hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri," kata dia menambahkan.
Beliau mengundang negara-negara maju untuk secara jelas menyatakan penolakan mereka terhadap penggunaan ekonomi sebagai senjata dan perang sebagai investasi, untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap perdagangan dan kerja sama ekonomi yang terbuka dan adil.
“Penting untuk menegaskan bahwa bank dan dana global tidak boleh membiayai tujuan militeristik dan rezim yang agresif, namun negara-negara yang membutuhkan demi kepentingan pembangunan berkelanjutan.”
“Ini akan menjadi kontribusi G20, dalam bidang tanggung jawabnya, untuk menciptakan kondisi material guna menemukan cara menyelesaikan konflik melalui diplomasi inklusif, dengan tetap menghormati peran sentral Dewan Keamanan PBB, dan bukan melalui format dan formula tertutup yang berdasarkan pada ultimatum,” ujarnya.
(Sumber: Middle East Monitor)