TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh telah resmi mundur dari jabatannya, Senin (26/2/2024).
Mundurnya Shtayyeh dikarenakan meningkatnya genosida dan kelaparan di Jalur Gaza.
"Keputusan untuk mengundurkan diri diambil mengingat eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tepi Barat dan Yerusalem serta perang, genosida dan kelaparan di Jalur Gaza," kata Shtayyeh, dikutip dari Al Jazeera.
Surat pengunduran diri Shtayyeh telah diberikan kepada Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas pada Senin.
Tak hanya masalah di Gaza, mundurnya Shtayyeh juga dilakukan di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat (AS) soal perombakan Otoritas Palestina.
Tekanan AS ini memungkinkan Palestina dapat mengambil peran lebih besar dalam memerintah Gaza pascaperang.
"Saya melihat tahap selanjutnya dan tantangan-tantangannya memerlukan pengaturan pemerintahan dan politik baru yang mempertimbangkan realitas baru di Gaza dan perlunya konsensus Palestina berdasarkan persatuan Palestina dan perluasan kesatuan otoritas atas tanah Palestina," ungkap Shtayyeh.
Meski telah mengajukan pengunduran diri, Shtayyeh diminta Abbas untuk tetap menjabat sebagai pengurus sampai pengganti permanen ditunjuk.
Abbas diperkirakan akan memilih Mohammad Mustafa, ketua Dana Investasi Palestina, sebagai perdana menteri berikutnya.
Langkah ini menandakan kesediaan kepemimpinan Palestina yang didukung Barat untuk menerima perubahan yang mungkin mengarah pada reformasi yang dipandang perlu untuk merevitalisasi Otoritas Palestina.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden memujinya sebagai langkah positif dan penting menuju penyatuan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah naungan Otoritas Palestina.
Baca juga: Negara-Negara Arab dan Turki Desak ICJ Nyatakan Pendudukan Israel di Palestina Adalah Ilegal
"Pada akhirnya, kepemimpinan Otoritas Palestina adalah pertanyaan yang harus diputuskan oleh Palestina sendiri," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, dikutip dari Times of Israel.
"Tetapi kami menyambut baik langkah-langkah yang diambil Otoritas Palestina untuk mereformasi dan merevitalisasi dirinya," lanjutnya.
AS menginginkan Otoritas Palestina untuk memerintah Gaza setelah perang usai dan mengesampingkan peran Hamas di kantong tersebut di masa depan.
Biden Berharap Gencatan Senjata Terjadi Senin Depan
Presiden AS, Joe Biden menaruh harapan besar terjadinya gencatan senjata antara Israel dengan Hamas di Jalur Gaza.
Biden berharap, gencatan senjata antara Israel dengan Hamas ini bisa terjadi pada Senin pekan depan.
"Saya berharap pada awal akhir pekan. Akhir akhir pekan. Penasihat keamanan nasionalku memberitahuku bahwa kita sudah dekat. Kami dekat. Kita belum selesai. Harapan saya adalah Senin depan kita bisa melakukan gencatan senjata," ujar Biden, dikutip dari Arab News.
Negosiasi sedang dilakukan untuk gencatan senjata selama berminggu-minggu antara Israel dan Hamas untuk memungkinkan pembebasan sandera yang ditahan di Gaza oleh kelompok militan tersebut dengan imbalan Israel membebaskan ratusan tahanan Palestina.
Baca juga: Netanyahu Usulkan Rencana Evakuasi Warga Gaza, Otoritas Palestina: AS Harus Hentikan Kegilaan Israel
Usulan jeda pertempuran selama enam minggu juga termasuk mengizinkan ratusan truk mengirimkan bantuan yang sangat dibutuhkan ke Gaza setiap hari.
Para perunding menghadapi tenggat waktu tidak resmi untuk dimulainya bulan suci Ramadhan sekitar tanggal 10 Maret, periode yang sering kali menyaksikan meningkatnya ketegangan Israel-Palestina.
Israel Bersiap untuk Operasi Darat di Rafah
Hampir lima bulan setelah perang, persiapan sedang dilakukan bagi Israel untuk memperluas operasi daratnya ke Rafah.
Senin pagi, Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan tentara telah menyampaikan kepada Kabinet Perang rencana operasionalnya di Rafah, serta rencana untuk mengevakuasi warga sipil dari zona pertempuran.
Namun tidak ada rincian lebih lanjut terkait laporan operasi darat di Rafah ini.
Baca juga: PM Mohammad Shtayyeh Mengundurkan Diri, Palestina Lakukan Reshuffle Kepemimpinan Pekan Depan
Masih mengutip Arab News, situasi di Rafah telah memicu kekhawatiran global.
Sekutu Israel telah memperingatkan bahwa mereka harus melindungi warga sipil dalam pertempuran melawan kelompok militan Hamas.
Dalam keputusannya pada tanggal 26 Januari, Mahkamah Internasional memerintahkan Israel untuk mengikuti enam langkah sementara.
Hal itu termasuk mengambil langkah-langkah segera dan efektif untuk memungkinkan penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan di Gaza.
Israel juga harus menyerahkan laporan tentang apa yang dilakukannya untuk mematuhi langkah-langkah tersebut dalam waktu satu bulan.
Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan pada Senin malam bahwa mereka telah mengajukan laporan semacam itu. Mereka menolak untuk membagikannya atau mendiskusikan isinya.
Baca juga: Video Viral Aksi Bakar Diri Prajurit Angkatan Udara AS, Teriak Bebaskan Palestina, Dilaporkan Tewas
Israel mengatakan 245 truk bantuan memasuki Gaza pada hari Minggu.
Jumlah tersebut kurang dari setengah jumlah yang masuk setiap hari sebelum perang.
Perang yang hampir lima bulan ini terjadi setelah Hamas melancarkan serangannya di wilayah Israel selatan dan menewaskan 1.200 orang serta menyandera 250 warga.
Hampir 30.000 orang telah terbunuh di Gaza, dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang tidak membedakan antara pejuang dan non-kombatan.
Israel mengatakan mereka telah membunuh 10.000 militan, tanpa memberikan bukti.
Pertempuran telah meratakan sebagian besar lanskap perkotaan Gaza, menyebabkan sekitar 80 persen dari 2,3 juta penduduk wilayah tersebut terpaksa mengungsi.
(Tribunnews.com/Whiesa)