Para pengamat khawatir Israel akan membunuh sejumlah besar warga sipil Palestina jika serangan terus dilakukan.
Israel telah membunuh lebih dari 31.000 warga Palestina sejak dimulainya perang pada bulan Oktober. Mayoritas korban yang dibunuh Israel adalah perempuan dan anak-anak.
Keputusan AS untuk abstain mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membatalkan jadwal perjalanan dua penasihat utamanya ke AS, kata dua pejabat Israel kepada CNN.
Penasihat keamanan nasional Israel, Tzachi Hanegbi, dan penasihat Netanyahu, Ron Dermer, telah dijadwalkan melakukan perjalanan ke Washington pada Senin malam untuk membahas serangan Rafah.
Gedung Putih telah memperingatkan Netanyahu terhadap invasi Rafah, namun Presiden Joe Biden menolak gagasan untuk menghentikan bantuan militer ke Israel jika Israel memang melakukan serangan tersebut.
Juru bicara Keamanan Nasional John Kirby mengatakan AS kecewa dengan keputusan Netanyahu membatalkan pertemuan tersebut.
“Kami sangat kecewa karena mereka tidak datang ke Washington, DC, untuk mengizinkan kami melakukan pembicaraan yang tidak senonoh dengan mereka mengenai alternatif yang layak selain turun ke Rafah,” katanya.
Sebelum pemungutan suara di PBB, Mohammad Shtayyeh, Perdana Menteri pemerintahan sementara Palestina, menyatakan harapannya bahwa resolusi tersebut akan disahkan dan dilaksanakan.
“Saya berharap Israel terpaksa menerapkan keputusan tersebut, karena perilaku kriminal Israel sebagai negara nakal di atas hukum, dan sebagai negara kriminal, menjadikan siapa pun yang mendukung Israel sebagai kaki tangan dalam kejahatan tersebut,” katanya.
“Apakah masuk akal bagi AS untuk menggunakan hak vetonya sebanyak empat kali sejak dimulainya agresi, pada tanggal 7 Oktober, untuk mencegah resolusi yang menyerukan gencatan senjata? Itu tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. Perlindungan Israel di PBB harus dihentikan karena itu adalah negara (nakal)," katanya.
“Kami bekerja sama dengan dunia untuk menghentikan agresi, dan ini adalah dasar dari segalanya.”
Israel dan Hamas telah melakukan negosiasi selama berbulan-bulan mengenai masalah gencatan senjata.
Israel telah menuntut Hamas mengembalikan semua tawanan yang diambil oleh pejuang gerakan perlawanan pada tanggal 7 Oktober dengan imbalan gencatan senjata sementara.
Hamas menuntut agar para tawanan Palestina dibebaskan dari penjara-penjara Israel, agar Israel menarik pasukannya dari Gaza dan mengizinkan warga Palestina yang terlantar untuk kembali ke rumah mereka, dan agar gencatan senjata bersifat permanen.