Seruan Serangan Besar-besaran ke Mesir Menggema di Israel: Tolak Hamastan dan Fathistan di Gaza Pasca-Perang
TRIBUNNEWS.COM - Isu perpecahan di pemerintahan Israel mengenai 'the day after' mendominasi editorial surat kabar Israel, Kamis (16/5/2024) terkait masa depan Gaza pasca-perang.
Selain itu, muncul pula seruan agar Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Mesir karena bergabung gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional, yang menuduh Israel melakukan genosida di Jalur Gaza.
Dilansir Khaberni, soal penanganan Gaza pasca-perang, friksi di pemerintahan Israel itu muncul setelah Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant melontarkan pernyataan kalau Israel tidak akan mampu memerintah Gaza secara militer.
Baca juga: Memanas, Mesir Mendadak Batalkan Rapat Militer dengan Israel, Tel Aviv Anggap Kairo Berkhianat
Baca juga: Drone Hizbullah Meluncur 35 Km dari Perbatasan Hantam Pangkalan Militer Israel di Galilea Bawah
Gallant menilai, agar pengelolaan wilayah kantung Palestina tersebut diserahkan kepada Otoritas Palestina di bawah naungan negara Arab.
Ucapan Gallant ini menentang apa yang digaungkan menteri-menteri sayap kanan ekstremis Netanyahu yang menghendaki agar Gaza dikendalikan secara militer oleh IDF pasca-perang Gaza.
Soal ini, Yossi Yehoshua, seorang analis militer, menulis di surat kabar Yedioth Ahronoth, juga menyangkal pendapat Gallant.
Dia setuju pada pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tentang perlunya menghilangkan Gerakan Perlawanan Hamas.
Dia juga menolak apa yang disebutnya sebagai “pemerintahan Hamastan” mengacu pada Hamas atau “Fathistan” mengacu pada Gerakan Pembebasan Nasional Palestina (Fatah).
Baca juga: Sama-sama Sengsara di Penjara Israel, Hamas dan Fatah Sepakat Akhiri Perpecahan, China Senyum
"Setiap kekuatan yang melakukan intervensi ketika Hamas masih berada di lapangan dengan cara apa pun akan menemukan kalau mereka memiliki sejumlah pilihan untuk mengakhiri hidupnya: dengan cara digantung, dilempar dari atap, atau dengan peluru di kepala," kata dia melontarkan kritik keras bernada ancaman ke Gallant.
Dia menambahkan, “Mungkin Gallant perlu diingatkan akan keterbatasan kemampuan Otoritas, setidaknya, untuk bekerja di kamp pengungsi di Jenin dan Tulkarem? Jika kita menyimpulkan dari situasi di Tepi Barat, Otoritas Palestina tidak akan mampu bertahan bahkan 24 jam di depan militan Hamas."
Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah
Dia menambahkan, “Jika Israel membutuhkan senjata dari Amerika, bayangkan apa kebutuhan pasukan keamanan Palestina. Sekarang keluarlah dan hitunglah. Bagaimana nasib puluhan ribu senapan yang secara seremonial akan mendarat di tangan Israel?".
Dia menyimpulkan dengan menyerukan pemusnahan Hamas.
"Tidak ada seorang pun yang akan memasuki Jalur Gaza dan pastinya tidak akan berhasil mengelolanya sebelum Israel menggulingkan Hamas sampai tidak ada setitik pun debu yang tersisa darinya."
Baca juga: IDF Tembus Jantung Jabalia, Perwira Senior Ungkap Strategi Asal-asalan Israel, Qassam Memanen Korban
Rencana 'The Day After'
Di surat kabar Maariv, analis Alex Nahomson mengatakan bahwa topik 'The Day After' tidak memiliki preseden atau logika historis.
Menurut dia, dalam sejarah peperangan di dunia, rencana The Day After baru akan dibicarakan setelah perang dimenangkan.
“Tidak ada negara yang pernah merencanakan selama pertempuran bagaimana mereka akan bertindak setelahnya, bahkan sebelum hasilnya jelas," katanya seraya mencontohkan apa yang terjadi setelah Perang Dunia II, bahwa baru dua tahun kemudian ada rencana pasti soal 'aksi pasca-perang sejak selesainya Proyek Marshall.
Komentarnya ini menyanggah dan menyerang pendapat Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel, Herzi Halevy, yang sebelumnya mengatakan, “Tidak adanya rencana untuk The Day After akan menghancurkan pencapaian perang,”.
Herzi Halevy menyiratkan rasa sesalnya karena apa yang sudah dicapai IDF di lapangan, tidak sinkron dengan tujuan akhir yang ditetapkan karena tidak adanya rencana lebih lanjut apa yang akan dilakukan setelah perang.
Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah
Halevi mengatakan, “Pencapaian perang di lapangan adalah tugasnya sebagai panglima tentara untuk mempertahankannya sebelum menempatkan tanggung jawab pada tingkat politik.”
Namun ujaran Halevi ini dicibir Nahomson dengan mengatakan:
"Metode tindakannya yang aneh – menduduki wilayah di Jalur Gaza dan kemudian segera meninggalkannya dan maju ke wilayah lain – belum pernah terjadi sebelumnya dalam doktrin tempur."
"Dan dalam literatur para ahli strategi besar, menyerukan agar dia rendah hati setelah apa yang terjadi di Black Saturday (serangan perlawanan pada 7 Oktober)," sindir Nahomson.
Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah
Analis Militer: Hamas Masih Kuat
Di sisi lain, penulis dan analis militer terkenal di Haaretz, Amos Harel, menggambarkan diskusi 'The Day After' sebagai “sebagian besar terjadi seputar kulit beruang yang belum diburu.”
Dalam praktiknya, kata dia, Otoritas Palestina tidak sepenuhnya siap menerima permintaan Israel untuk mengambil alih kepemimpinan di Jalur Gaza.
"Dapat juga diasumsikan bahwa Hamas masih cukup kuat untuk menghambat proses tersebut. Namun, ada arti penting dari tanda peringatan Gallant," katanya.
Dia menambahkan, “Dapat diasumsikan bahwa Hamas mengikuti dengan penuh minat, dan tentu saja dengan kepuasan atas keretakan yang jelas-jelas terjadi di puncak hierarki kepemimpinan di Israel. Situasi ini juga akan mempersulit kemajuan kesepakatan pertukaran karena Hamas percaya bahwa situasi strategisnya membaik."
Harel juga menyerang Netanyahu dengan keras dan mengatakan kalau sang perdana menteri terus menerus menjual omong kosong dan ilusi kepada publik.
"Dia berjanji untuk mencapai kemenangan mutlak dan mengklaim bahwa kita benar-benar selangkah lagi darinya. Selain itu, kini pentingnya memasuki Rafah dilebih-lebihkan," kata Harel.
Harel menilai bahwa Perdana Menteri Israel “telah lumpuh” dan “sebagian besar perhatiannya tertuju pada kelangsungan hidup pribadinya, melanjutkan jabatannya.
"Selain itu, memperkuat koalisi dengan sayap kanan ekstrim dan Haredim adalah doktrin baru Netanyahu: bagaimana menjalankan negara dalam keadaan perang dan tanpa mengambil tindakan apa pun,” kata Harel.
Baca juga: Tank-Tank IDF Menyemut, AS: Israel Kerahkan Kekuatan yang Cukup untuk Besar-besaran Menyerang Rafah
Invasi Militer ke Rafah Harus Dihentikan
Pengamat asal Amerika Zvi Barel, seorang spesialis urusan Timur Tengah, menulis di Haaretz, mengutip pengalaman Amerika dalam perang di Irak dan Afganistan, bahwa “proses pelemahan rezim yang ada dan pembentukan rezim alternatif harus diintegrasikan.
Namun penolakan Netanyahu untuk mengizinkan Otoritas Palestina memasuki Jalur Gaza menghalangi kemajuan tersebut.”
Dia menekankan bahwa kunjungan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan ke wilayah tersebut adalah “untuk mencoba meluncurkan proses normalisasi dengan Arab Saudi dan mencoba merumuskan arah 'The Day After,”.
Barel menekankan, hal ini memerlukan “penghentian aktivitas militer”, operasi di Rafah, yang mengkhawatirkan Presiden AS dan para pemimpin negara-negara Arab, terutama Presiden Mesir.”
Baca juga: Tank-Tank Israel Rebut Kendali Penyeberangan Rafah, Mesir Siaga, Siapkan Semua Skenario Perang
Mesir dan Terowongan
Dalam diskusi senada, tajuk media-media Israel juga menggaungkan serangan besar-besaran terhadap Mesir.
David Ben Besht, mantan Jenderal IDF, menyatakan dalam sebuah artikel di Maariv bahwa “alasan utama Mesir bergabung dalam gugatan Afrika Selatan di Den Haag tampaknya adalah ketakutan bahwa Israel akan menemukan sejumlah besar terowongan yang menghubungkan Gaza dan Rafah Mesir, yang dibangun dengan izin dari pemerintahan Mesir.
Dia menambahkan klaimnya dengan mengatakan, “Selama bertahun-tahun, Mesir telah memberi kita informasi palsu yang menyatakan bahwa mereka menghancurkan terowongan Hamas. Selama bertahun-tahun, kita telah mendengar cerita tentang pemompaan limbah ke dalam terowongan yang membentang dari Rafah, Mesir, ke Gaza, namun jumlah senjata tempur yang ditemukan oleh tentara Israel sangat besar sehingga bahkan mengejutkan "Israel".
Mantan Komandan Angkatan Laut Israel itu juga mengaitkan langkah Mesir tersebut dengan upaya untuk menghentikan serangan Israel di Rafah, dengan mengatakan, “Ketakutan Mesir terhadap masuknya warga Gaza ke wilayahnya juga jelas alasan sekunder, meskipun Israel berjanji bahwa hal tersebut tidak akan terjadi"
Ben Besht berbicara tentang alasan lain Mesir ingin Israel berhenti berperang yang kemungkinan terkait ekonomi.
"Berlanjutnya perang antara Israel dan Hamas secara langsung mempengaruhi perekonomian Mesir dan di dalam negeri, serta di kalangan oposisi dan di luarnya, kritik terhadap rezim di Mesir semakin meningkat," katanya.
(oln/khbrn/*)