Dilaporkan Reuters, Netanyahu mengkritik rencana tersebut.
Sebelumnya pada hari Minggu (16/6/2024), Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan jeda pertempuran harian mulai pukul jam 8 pagi hingga jam 7 malam waktu setempat, dari Penyeberangan Kerem Shalom ke Jalan Salah al-Din dan lanjut ke utara.
“Ketika perdana menteri mendengar laporan tentang jeda kemanusiaan selama 11 jam di pagi hari, dia langsung mendatangi sekretaris militernya dan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat diterima,” kata seorang pejabat Israel.
IDF mengklarifikasi, bahwa operasi normal akan berlanjut di Rafah, fokus utama operasinya di Gaza selatan, di mana delapan tentara tewas pada hari Sabtu.
Reaksi penolakan Netanyahu menggarisbawahi ketegangan politik mengenai masalah bantuan yang masuk ke Gaza, di mana organisasi internasional sudah sering memperingatkan akan meningkatnya krisis.
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang memimpin salah satu partai keagamaan nasionalis dalam koalisi Netanyahu, mengecam gagasan jeda taktis itu.
Ia mengatakan, siapa pun yang memutuskan hal itu adalah orang "bodoh" yang pantas kehilangan pekerjaannya.
Perpecahan antara koalisi dan militer
Masih mengutip Reuters, ketegangan atau perselisihan semacam ini bukan yang pertama kali terjadi di antara koalisi pemerintahan Israel dan militer.
Seminggu sebelumnya, mantan jenderal sentris Benny Gantz mundur dari pemerintahan, menuduh Netanyahu tidak memiliki strategi yang efektif di Gaza.
Perpecahan ini terungkap pekan lalu dalam pemungutan suara parlemen mengenai undang-undang tentang wajib militer Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer.
Baca juga: Israel Umumkam Jeda Pertempuran Harian dari Jam 8 Pagi hingga Jam 7 Malam di Wilayah Salah al-Din
Menteri Pertahanan Yoav Gallant menentangnya.
Ia mengatakan, bahwa undang-undang tersebut tidak cukup untuk kebutuhan militer.
Partai-partai keagamaan dalam koalisi sangat menentang wajib militer bagi kelompok ultra-Ortodoks, sehingga memicu kemarahan luas dari banyak warga Israel, yang semakin mendalam seiring dengan berlanjutnya perang.
Panglima militer Israel Letnan Jenderal Herzi Halevi, mengatakan pada hari Minggu bahwa ada kebutuhan yang pasti untuk merekrut lebih banyak tentara dari komunitas ultra-Ortodoks yang berkembang pesat.
Tentara Cadangan di Bawah Ketegangan
Meskipun ada tekanan internasional yang semakin besar untuk melakukan gencatan senjata, kesepakatan untuk menghentikan pertempuran masih belum tercapai.
Saat ini sudah lebih dari delapan bulan sejak serangan 7 Oktober oleh pejuang Hamas terhadap Israel yang memicu serangan Israel di daerah kantong tersebut.
Sejak itu, agresi militer Israel telah menewaskan lebih dari 37.000 warga Palestina, menurut angka Kementerian Kesehatan Palestina.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar warga Israel memang mendukung tujuan pemerintah menghancurkan Hamas.
Tetapi terdapat protes luas yang menyerang pemerintah Netanyahu karena ia tidak berbuat lebih banyak untuk memulangkan para sandera di Gaza.
Sementara itu, pejabat kesehatan Palestina mengatakan tujuh warga Palestina tewas dalam dua serangan udara di dua rumah di kamp pengungsi Al-Bureij di Jalur Gaza tengah.
Ketika pertempuran di Gaza terus berlanjut, konflik lainnya di perbatasan Israel-Lebanon kini berpotensi berkembang menjadi perang yang lebih luas.
Baku tembak terjadi hampir setiap hari antara pasukan Israel dan milisi Hizbullah yang didukung Iran semakin meningkat.
(oln/toi/khbrn/*)