Green menceritakan sebuah insiden selama hari raya Yahudi di bulan Desember, saat "seluruh batalion melepaskan tembakan bersama-sama seperti kembang api. Karena (Hannukah) adalah 'festival cahaya', maka apa yang kami lakukan itu adalah hal simbolis."
Dalam konteks yang sama, C menyebut "para tentara akan menembak sesuka hati mereka dengan sekuat tenaga."
Ia juga mengatakan, tidak adanya pembatasan dalam menembak, menjadikan pasukan Israel sering terkena risiko tembakan sesama rekan,
"Itu menjadi masalah utama yang mengancam nyawa tentara Israel. Itu membuatku gila," kata Green.
7. "Serangan Israel merugikan para sandera"
Green mengaku pernah mendengar pernyataan dari tentara lain, "para sandera Israel tidak punya kesempatan dan harus ditinggalkan."
"Ini mengganggu saya, karena mereka terus berbohong, 'Kami di sini untuk para sandera'. Tapi, jelas serangan Israel sangat merugikan para sandera."
Baca juga: Drone Hizbullah Hantam Pangkalan Mata-mata Israel di Gunung Hermon, Ancaman Gallant Dianggap Remeh
8. Tak pernah terima perintah yang jelas
A, seorang perwira yang bertugas di Direktorat Operasi Angkatan Darat, bersaksi ruang operasi brigadenya, tidak pernah menerima perintah yang jelas mengenai tembakan.
"Sejak masuk, tidak ada pengarahan sama sekali. Kami tidak menerima perintah dari atasan untuk diteruskan kepada prajurit dan komandan batalion," ungkapnya.
"Sering kali kami mengambil keputusan sendiri, 'Jika dilarang di sana, maka di wilayah sini diperbolehkan'," lanjut dia.
9. "Tembak dulu, baru bertanya"
A merinci bagaimana penembakan di "rumah sakit, klinik, sekolah, lembaga keagamaan, dan gedung organisasi internasional" memerlukan izin yang lebih ketat.
Tetapi, dalam praktiknya, A menyebut semua itu hanya "formalitas".
Ia menambahkan, "Kami terbiasa menembak terlebih dulu, meskipun itu tidak perlu, baru bertanya kemudian."
A juga mengaku tahu kejadian-kejadian tentara Israel menembaki warga sipil Palestina yang memasuki "wilayah operasional mereka", yang menguatkan temuan-temuan dari penyelidikan Haaretz terhadap "zona pembunuhan" di wilayah Gaza yang berada di bawah kendali militer.
"Sudah menjadi standarnya. Tidak boleh ada warga sipil berada di wilayah tersebut, begitulah perspektifnya. Kami melihat seseorang di jendela, jadi kami menembak dan membunuhnya," tegas A.