TRIBUNNEWS.COM – Kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin ke Amerika Serikat (AS) terjadi ketika situasi Israel tengah runyam.
Pakar kajian Timur Tengah bernama Murad Sadygzade menyebut hubungan Netanyahu dengan Partai Demokrat AS sedang tidak baik-baik saja.
Bahkan, hubungan Netanyahu dengan Donald Trump yang dicalonkan Partai Republik sebagai capres AS juga kurang baik lantaran Netanyahu pernah mengucapkan selamat kepada Joe Biden yang menang Pilpres 2020.
Kunjungan Netanyahu ke AS itu ditujukan untuk menguatkan hubungan Israel-AS.
Sementara itu, Sadygzade mengatakan situasi di Jalur Gaza tetap sulit dan memunculkan ketegangan antara Israel-AS.
Israel hingga kini terus menggempur Gaza meski mendapat kritik dari masyarakat internasional dan sejumlah warga AS.
“Pemerintahan Biden mencari keseimbangan dalam mendukung Israel dan perlunya menyediakan bantuan kemanusiaan untuk warga sipil Palestina, terkadang menimbulkan perbedaan pendapat di antara dua negara itu,” kata Sadygzade dikutip dari Russia Today.
Adapun secara resmi pejabat Israel mengatakan bahwa tujuan utama kunjungan Netanyahu ialah meminta dukungan dari para anggota dewan AS agar membantu Israel dalam melawan Hamas, Iran, dan “poros perlawanan”.
Menurut Sadygzade, Netanyahu dalam pidatonya di depan parlemen AS berusaha menghindari konfrontasi dengan pemerintah AS. Kemudian, Netanyahu menegaskan pentingnya AS mendukung Israel.
Kunjungan Netanyahu turut diwarnai oleh aksi boikot dan protes di luar Gedung Capitol.
Situasi sudah berubah
Baca juga: Usai Harris, Giliran Trump Bertemu Netanyahu Hari Ini: Dianggap Bisa Perbaiki Hubungan
Sadygzade mengatakan kunjungan Netanyahu itu terjadi dalam situasi politik yang berbeda dengan situasi pada kunjungan sebelumnya.
Pemerintahan Netanyahu menghadapi banyak masalah, salah satunya serangan Hamas tanggal 7 Oktober 2023.
“Hasil jajak pendapat baru-baru ini memperlihatkan bahwa 72 persen warga Israel ingin dia mengundurkan diri, segera atau setelah perang di Gaza berakhir,” ujar Sadygzade.
Meski demikian, Netanyahu hingga saat ini masih berkuasa di Israel dan bisa menghindari pemilu.