Kunjungan Netanyahu juga terjadi saat situasi di perbatasan utara Israel memanas karena konflik dengan kelompok Hizbullah di Lebanon.
“Poros perlawanan juga meneruskan serangannya target militer Barat di kawasan itu dan Israel, sementara eskalasi lain telah terlihat di antara IDF dan gerakan Houthi di Yaman, Ansar Allah,” ucap pakar itu.
“Ancaman dari luar yang meningkat membuat Israel makin susah menjaga keamanannya, dan sebelum berangkat ke Washington, Netanyahu menyatakan Israel kini menghadapi aksi militer di ‘tujuh front,’” kata dia.
Di sisi lain, faksi-faksi Palestina mulai berunding untuk menyatukan diri. Beberapa hari lalu sebanyak 14 faksi Palestina menggelar pembicaraan di Tiongkok dan menandatangani pernyataan rekonsiliasi.
“Jadi, kunjungan Netanyahu ke Israel adalah hal yang sangat penting bagi pemerintah dan masa depan Israel.
“Zaman benar-benar sudah berubah. Rusia dan Tiongkok aktif memperluas pengaruh di Timur Tengah, sedangan sekutu utama Israel, yakni AS, tampakny kehilangan pengaruh.”
“Iran dan berbagai kekuatan anti-Israel makin kuat, memperbesar kemampuan militer mereka, dan rakyat Palestina tampaknya mengakui pentingnya menyatukan upaya demi masa depan bersama.”
Baca juga: Netanyahu Ingin Buat Persekutuan Abraham Berisi Israel, Arab, dan AS, Pakar: Lucu, Tak Realistis
Sadygzade berujar Timur Tengah berada dalam kekacauan selama sepuluh bulan terakhir. Selain itu, hingga kini belum ada tanda-tanda konflik besar di sana akan berakhir.
“Sayangnya, perkembangan ini menunjukkan bahwa Tanah yang Dijanjikan itu mungkin berada di ambang periode paling sulit sejak tahun 1948. Sentimen ini digaungkan oleh Netanyahy serta Gallant saat berkunjung ke Washington.”
Sadygzade menyebut AS akan akan terus menjadi sekutu terpenting Israel, terlepas dari siapa yang menjadi Presiden AS.
“Penerbangan pesawat angkut militer AS baru-baru ini di atas Turki hingga Suriah dan Irak menunjukkan bahwa Washington sedang bersiap menghadapi situasi yang memburuk.”
(Tribunnews/Febri)