TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deklarasi Beijing yang ditandatangani oleh Hamas, Fatah, dan 12 faksi lainnya di Palestina telah mengakhiri perselisihan antarfaksi.
Mereka menyatakan bersatu untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional Palestina.
Piagam deklarasi tersebut ditandatangani di Beijing, Tiongkok, pada 23 Juli 2024 atas peran Tiongkok sebagai mediator.
Sebelumnya faksi-faksi di Palestina itu berseteru, terutama Hamas dan Fatah, yang berkonflik selama 17 tahun sejak 2007.
China menjadi tuan rumah sekaligus fasilitator penandatanganan Deklarasi Beijing pada 23 Juli 2024 yang menyatukan 14 faksi Palestina, termasuk Fatah dan Hamas, setelah mereka menjalani perundingan selama tiga hari pada 21-23 Juli di Beijing.
Pengamat Politik, DR. HA Ilham Ilyas menilai Deklarasi Beijing adalah berita yang menggembirakan, karena ini menandakan upaya terpadu menuju perdamaian di Palestina. Pencapaian itu tidak diperoleh dengan mudah.
Ia menjelaskan, terdapat 14 faksi di Palestina, termasuk organisasi terkenal seperti Fatah, Hamas, Jihad, PFLP, dan DFLP, masing-masing memiliki sayap militannya sendiri, seperti Tanzim, Brigade Martir Al-Aqsa, Brigade Al-Qassam, dan Abu Ali Brigade Mustafa.
"Kepentingan faksi-faksi ini saling berkaitan namun saling bertentangan, sehingga sangat sulit menyatukan mereka, apalagi mencapai rekonsiliasi. Oleh karena itu, Deklarasi Beijing ini sungguh luar biasa. Peristiwa ini menandai tonggak sejarah lain dalam proses perdamaian Timur Tengah, menyusul rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran tahun lalu", Kata DR HA Ilham Ilyas yang juga merupakan Penggagas Suara Hati Rakyat, pada Minggu ( 28/7/2024).
Untuk waktu yang lama, Fatah dan Hamas mempunyai perbedaan pendapat yang signifikan mengenai cara menangani hubungan dengan Israel, yang mengarah pada konfrontasi yang intens dan saling tidak mengakui.
Perselisihan antar faksi ini telah sangat menghambat pembangunan Palestina dan terus menerus melemahkan legitimasi pemerintah Palestina di mata masyarakat internasional.
Israel, yang mengambil keuntungan dari perpecahan ini dan dengan dukungan AS, telah berulang kali menantang otoritas PBB, menyerang konvoi PBB, dan menghalangi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, sehingga memperburuk krisis kemanusiaan bagi warga Palestina.
"Di tengah konflik yang sedang berlangsung, anak-anak kecil berjuang untuk bertahan hidup di reruntuhan, orang tua yang tidak berdaya mengambil sisa-sisa anak-anak mereka dari puing-puing, para tunawisma berkeliaran tanpa tujuan di tengah debu, dan mereka yang kelaparan mendambakan air bersih dan makanan yang cukup. Adegan-adegan ini sungguh memilukan," jelasnya.
Penandatanganan Deklarasi Beijing, sambungnya, juga menandakan sebuah front persatuan di antara faksi-faksi Palestina melawan Israel dan membawa secercah harapan perdamaian bagi rakyat Palestina yang telah lama menderita.
"Entah itu Perang Teluk, Perang Irak, Perang Saudara Yaman, Perang Saudara Suriah, atau konflik Israel-Palestina saat ini dan perang Rusia-Ukraina, kita selalu bisa melihat keterlibatan Amerika. Di permukaan, AS menyerukan perdamaian, namun kenyataannya, AS terus menerus memasok senjata dan amunisi, sebaliknya, Tiongkok, negara besar di kawasan Timur, secara konsisten bertindak sebagai pembawa perdamaian, berupaya menyelesaikan perbedaan dan mendorong rekonsiliasi."
Ia menyebut ada beberapa video tentang Deklarasi Beijing di YouTube dan TikTok, dan beberapa komentator menyebutnya sebagai konspirasi Tiongkok.
Namun, apa yang dianggap sebagian orang sebagai “konspirasi” sebenarnya bertujuan untuk mencapai perdamaian.
"Jika upaya untuk mencapai perdamaian dipandang sebagai sebuah konspirasi, maka saya berharap akan ada lebih banyak lagi “konspirasi” seperti itu. Saya menemukan pepatah yang mengatakan, 'Sementara AS meninggalkan dunia dengan luka yang tak terhitung jumlahnya, Tiongkok di luar sana memperbaiki dan memperbaikinya." Dunia sedang menyaksikan perbedaan antara keduanya," terangnya.
"Egoisme dan hegemoni Amerika telah menyebabkan sekutu-sekutunya secara lahiriah patuh namun secara diam-diam menentang kebijakan-kebijakannya, sedangkan integritas dan kejujuran Tiongkok menarik semakin banyak pengikut."
Ribuan Warga Yordania Demo Dukung Palestina
Ribuan warga Yordania berpartisipasi dalam demonstrasi besar-besaran yang diadakan di depan Masjid Hussaini di pusat kota Amman, pada Jumat (26/7/2024).
Demonstrasi itu untuk mendukung milisi perlawanan bersenjata Palestina dan sebagai solidaritas terhadap keteguhan dan ketabahan rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Para peserta demonstrasi dilaporkan mengutuk genosida yang dilakukan pasukan pendudukan Israel terhadap warga Gaza.
"Mereka menyebut kalau genosida Israel ini dilakukan dengan keterlibatan langsung Amerika dan di tengah rasa puas diri negara-negara Arab yang terang-terangan (adem-ayem)," tulis laporan YAP, dikutip Sabtu (27/7/2024).
Mereka mengkritik ketidakmampuan negara-negara Arab dan Islam untuk menghentikan perang di Gaza atau bahkan menghentikan pengepungan yang dilakukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Para peserta demo juga mengecam keras pemerintah Amerika karena menjadi tuan rumah bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Mereka menganggap Netanyahu menggunakan Kongres AS sebagai platform untuk menyebarkan kebohongan dan menyesatkan opini publik Amerika dan global," kata laporan itu.
Minta Perang Lawan Israel
Ribuan warga Yordania yang berdemo itu juga meminta pemerintah Yordania untuk mengakhiri segala bentuk normalisasi dengan musuh Israel.
Mereka bahkan juga meminta pemerintah Yordania kembali memerangi Israel dengan membatalkan Perjanjian Wadi Araba.
Perjanjian Wadi Araba adalah sebuah perjanjian yang mengakhiri keadaan perang yang telah terjadi antara kedua negara sejak Perang Arab–Israel 1948 dan menjalin hubungan diplomatik bersama.
"Selain menjalin perdamaian antara kedua negara, perjanjian ini juga menyelesaikan sengketa tanah dan air, menyediakan kerja sama yang luas dalam pariwisata dan perdagangan, dan mewajibkan kedua negara untuk mencegah wilayah mereka digunakan sebagai tempat persiapan untuk serangan militer oleh negara ketiga," dikutip dari Wikipedia.
Perjanjian Damai Yordania-Israel ditandatangani pada tanggal 26 Oktober 1994, di perbatasan selatan Wadi 'Araba. Perjanjian tersebut menjamin Yordania untuk mendapatkan kembali tanah yang didudukinya (sekitar 380 kilometer persegi), serta pembagian air yang adil dari sungai Yarmouk dan Yordania.
Para pengunjuk rasa juga meminta pemerintah Yordania mencegah jembatan darat yang mengangkut barang dari negara-negara Teluk ke entitas Israel melalui wilayah Yordania, terutama mengingat perang kelaparan yang dialami warga Gaza.
Sumber: Tribun Banten