"Di tangan seorang hakim itu ada kekuasaan yang besar. Rasa keadilan masyarakat saja tidak bisa jadi tameng untuk mengawasinya, sehingga penggunaannya terkadang serampangan dan tidak memedulikan rasa keadilan di masyarakat," ujarnya kepada DW Indonesia.
"Dengan kewenangan yang tinggi dan kebebasan absolut, terkadang hakim menggunakannya tanpa koridor yang jelas. Padahal hukum sudah mengatur secara jelas," imbuhnya.
Abdul Fickar meyakini, hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri utamanya di kota-kota besar adalah mereka yang sudah memiliki sekurang-kurangnya 20 tahun pengalaman dalam profesi kehakiman. Dengan ini, kapabilitas mungkin tak jadi soal. Namun bicara tentang integritas, jelas masih harus dipertanyakan, ujarnya.
Bagaimana pengawasan kinerja hakim?
Meski punya kompetensi absolut, bukan berarti kinerja hakim lepas dari pengawasan. Evaluasi dan pengawasan berada di tangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kewenangan tertinggi administrasi dan organisasi peradilan, dengan catatan: penilaian kerja ini tak boleh melanggar asas kemerdekaan dan independensi hakim.
Ia pun menambahkan, hakim yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran dalam memutus perkara bisa dikenakan sanksi, baik administrasi maupun pidana.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat seolah memiliki andil lebih besar dalam mengawasi. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang baru diusut jika sudah ramai diperbincangkan, sampai akhirnya muncul istilah no viral, no justice.
"Peran masyarakat untuk mengawasi ini tidak boleh dilepaskan, baik itu pers, masyarakat umum, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ini disebut juga sebagai sine qua non, sesuatu yang mutlak harus ada dalam setiap persidangan, utamanya pada kasus-kasus yang punya keterkaitan dengan kekuasaan. Baik kekuasaan politik maupun kekuasaan uang," jelas Abdul Fickar.
fr/ae