TRIBUNNEWS.COM - Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengusulkan pendanaan sebesar USD 18,5 juta untuk mengurangi dampak wabah Mpox di Afrika.
Direktur Jenderal IOM, Amy Pope menyampaikan hal tersebut, Rabu (21/8/2024).
"Penyebaran Mpox di Afrika Timur, Afrika, dan Afrika Selatan merupakan masalah serius terutama bagi para migran," tutur Amy Pope, dilansir laman resmi IOM.
Menurutnya, tindakan cepat harus dilakukan untuk melindungi mereka yang paling terdampak dan mengurangi dampak di wilayah itu.
Diketahui, dana sebesar USD 18,5 juta tersebut akan digunakan untuk menyediakan layanan perawatan kesehatan bagi para migran, pengungsi internal, dan warga di Afrika.
Dana tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dalam menanggapi kebutuan mereka yang terdampak virus Mpox.
Pendanaan tersebut akan memungkinkan identifikasi area berisiko tinggi untuk mengurangi penyebaran lintas batas.
Dengan dana itu, IOM juga akan menggalakkan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran migran dan pengungsi internal dalam menanggapi virus Mpox.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan mpox sebagai Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat Global, Rabu (14/8/2024).
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menetapkan peningkatan mpox di Afrika sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC).
"Munculnya varian baru mpox dengan penyebaran yang cepat di bagian timur Republik Demokratik Kongo (DRC) dan beberapa negara tetangga sangat mengkhawatirkan."
"Selain wabah mpox di DRC, perlu respons internasional yang terkoordinasi untuk mengentikan wabah ini," tegas Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam postingan akun X resminya, Kamis (15/8/2024) pukul 3.38 WIB.
Baca juga: Wabah Mpox Makin Ngeri, Warga RI Diimbau Tidak Berpergian ke Negara-negara di Afrika
Tak hanya itu, ia pun menyatakan, WHO telah mendeklarasikan wabah mpox pada tingkat kewaspadaan tertinggi.
Di samping itu, hingga kini terdapat lebih dari 15.000 kasus yang diduga terjadi di Republik Demokratik Kongo saja, menurut catatan WHO.