TRIBUNNEWS.COM - Seorang jurnalis asal Palestina, Abdel Mohsen Shalalda menceritakan pengalamannya ketika ditahan tentara Israel selama enam bulan.
Meski masa penahanannya terbilang sangat singkat, namun Abdel Mohsen Shalalda mengalami trauma yang mendalam akibat penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Israel.
Penangkapan Shalalda terjadi saat tentara Israel menyerbu rumahnya di Kota Sa'ir, timur laut Hebron.
Selama ditahan, Shalalda mengalami penyiksaan yang luar biasa.
Dikutip dari Palestine Chronicle, Shalalda mengalami pemukulan hebat di dada, kepala, dan punggung.
Bahkan, kepala Shalalda dijadikan asbak oleh tentara Israel yang melakukan penyiksaan terhadapnya.
"Hal terburuk adalah tentara Israel mematikan rokok mereka di kepala saya. Saya merasakan sakit yang luar biasa, dan setiap kali saya berteriak, mereka akan memukul saya lagi," katanya.
Shalalda mengalami penyiksaan selama lebih dari 36 jam oleh tentara Israel secara bergantian.
Setelahnya, Shalalda dipindahkan ke Pusat Penahanan Etzion, utara Hebron.
Setelah tiba di sana, Shalalda mengalami kelelahan dahsyat akibat beratnya pemukulan selama berjam-jam.
Bahkan, tulang rusuk Shalalda patah dan ia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya.
Baca juga: Ternyata Israel Sudah Terima 50.000 Ton Bantuan Militer dari AS, Tapi Belum Menang Lawan Hamas
"Saya dalam kondisi yang menyedihkan, kelelahan dan lapar tanpa makanan, dan ketika saya meminta pemeriksaan medis, mereka menyerang saya lagi," ucapnya.
Karena tidak diberi perawatan dan makanan, jurnalis tersebut dipindahkan ke Penjara Ofer di Tepi Barat bagian tengah.
Selama perjalanan, ia kembali dipukuli saat masih belum pulih dari serangan pertama.
Meskipun musim dingin sudah dekat di salah satu penjara terdingin, pasukan pendudukan Israel menyita selimut dan pakaian hangat para tahanan.
Tentara memaksa mereka mengenakan seragam tipis dari Administrasi Penjara Israel yang sama sekali tidak melindungi mereka dari hawa dingin.
Saat berada di penjara, yang tidak memiliki kebutuhan hidup minimal, Shalalda kembali menjadi sasaran interogasi dan pemukulan.
"Interogasi itu semata-mata terkait pekerjaan jurnalistik saya dan ketika saya menjawab bahwa ini adalah pencari nafkah saya, interogator menuduh saya berafiliasi dengan Hamas dan bahwa saya memotret pawai antiperang untuk Gaza untuk tujuan non-jurnalistik," ungkap Shalalda.
Penahanan Shalalda bukanlah yang pertama karena dia telah ditangkap tiga kali sebelumnya dan diserang beberapa kali saat melakukan pekerjaannya.
Baca juga: Rabi Israel Ingin Hancurkan Masjid Al-Aqsa lalu Tuding Iran Pelakunya: Provokasi Konflik Arab-Iran
"Begitu saya dibebaskan, saya mengetahui bahwa istri saya telah melahirkan anak kami."
"Saya tidak dapat menghubungi keluarga saya atau mengetahui apa pun tentang mereka. Kami tidur dalam keadaan lapar di tengah cuaca yang sangat dingin," jelas jurnalis muda itu.
Penganiayaan terhadap jurnalis di Palestina ini bukanlah hal baru yang dilakukan oleh tentara Israel.
Bahkan, para jurnalis yang meliput perang antara Hamas dengan Israel di Gaza juga harus mempertaruhkan nyawanya.
Terbaru, seorang jurnalis Palestina dibunuh oleh tentara Israel di Jalur Gaza, Senin (26/8/2024).
Baca juga: Tantang Negara Arab, Israel Pertama Kalinya Bakal Biayai Serbuan Pemukim Yahudi ke Masjid Al Aqsa
Dalam sebuah pernyataan, Kantor Media Pemerintah yang berpusat di Gaza berduka atas kematian jurnalis Ali Tuaima, yang dibunuh oleh tentara Israel, tetapi tidak menyebutkan di mana dia dibunuh di Gaza.
Dikutip dari Anadolu, meninggalnya Tuaima menambah jumlah korban tewas di antara jurnalis di Gaza yang dibunuh oleh Israel sejak 7 Oktober menjadi 171.
Israel terus melancarkan serangan brutalnya di Jalur Gaza menyusul serangan kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.
Serangan itu telah mengakibatkan lebih dari 40.400 kematian warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 93.500 luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Blokade berkelanjutan di Gaza telah mengakibatkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah, sehingga sebagian besar wilayah hancur.
Israel menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional, yang telah memerintahkan penghentian operasi militer di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan sebelum daerah itu diserbu pada 6 Mei.
(Tribunnews.com/Whiesa)