News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Personel Intelijen Israel di Divisi Gaza Mau Mundur, Gallant Minta Netanyahu Revisi Target Perang

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prajurit Militer Israel (IDF) berlari untuk berlindung dari sergapan dalam agresi militer mereka di Gaza. Agresi militer Israel memasuki bulan ke-11 dan belum mencapai target yang ditetapkan.

Personel Intelijen Israel di Divisi Gaza Mau Mundur Saat Gallant Minta Netanyahu Revisi Target Perang

TRIBUNNEWS.COM - Sebuah laporan singkat dari Otoritas Penyiaran Israel KAN, Jumat (30/8/2024), mengutip sumber internal militer Israel (IDF), mengabarkan kalau petugas intelijen di Divisi Gaza mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri.

Niat mundur petugas intelijen Israel ini menyeruak saat agresi militer Israel memasuki bulan ke-11 dan belum mencapai target yang ditetapkan.

Baca juga: Mustaribeen, Unit Rahasia Elite Israel yang Menyamar Jadi Orang Arab di Agresi Militer di Tepi Barat

Informasi ini datang setelah Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant pada Kamis (29/8/2024) menyerukan agar target perang Israel direvisi.

Khaberni melansir, Gallant meminta agar Israel memperluas tujuan perang yang dilancarkan oleh tentara pendudukan Israel, termasuk memulangkan penduduk pemukiman utara di perbatasan Lebanon ke rumah mereka.

Pernyataan Gallant muncul saat dia berpartisipasi dalam diskusi strategis bertajuk "Misi kami di front utara jelas: mengembalikan warga ke rumah mereka dengan selamat," menurut surat kabar Israel Yedioth Ahronoth dikutip Khaberni.

Gallant menambahkan, "Untuk mencapai tujuan ini, kita diharuskan untuk memperluas tujuan perang, termasuk kembalinya penduduk utara ke rumah mereka dengan selamat. Saya akan menyampaikan hal ini kepada Perdana Menteri (Benjamin Netanyahu) dan Dewan Menteri."

Sebaliknya, kantor Netanyahu menanggapi pernyataan Gallant dengan mengatakan, dalam sebuah pernyataan, "Ini adalah konsep implisit (yang terbukti dengan sendirinya) yang tidak muncul dalam tujuan perang, meskipun ada tuntutan berulang kali."

Netanyahu sebelumnya menetapkan tujuan perang sebagai "memberangus Gerakan Perlawanan Hamas, membebaskan tahanan di Gaza, dan menjaga keamanan Israel."

Israel tidak mencapai satu pun dari tujuan tersebut meskipun telah terjadi perang selama sekitar 11 bulan.

Sejak 8 Oktober, permukiman di Israel utara telah menyaksikan ketegangan yang parah akibat saling pengeboman antara tentara Israel dan Hizbullah di Lebanon selatan, di mana permukiman yang dekat dengan perbatasan di sana, yang dihuni oleh ratusan ribu warga Israel, dievakuasi.

Sejak tanggal 8 Oktober lalu, faksi-faksi Lebanon dan Palestina di Lebanon, terutama Hizbullah, telah saling melakukan pemboman setiap hari dengan tentara Israel melintasi “Garis Biru” yang memisahkan kedua teritotial.

Eskalasi ini mengakibatkan ratusan orang tewas dan terluka, sebagian besar dari mereka berada di pihak Lebanon.

Faksi-faksi tersebut menuntut diakhirinya perang yang dilancarkan Israel, dengan dukungan Amerika, di Jalur Gaza sejak 7 Oktober, yang telah menyebabkan lebih dari 134.000 warga Palestina meninggal dan terluka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan, dan lebih dari 10.000 orang hilang.

Asap mengepul di wilayah Israel Utara setelah diserang oleh milisi Hizbullah (Anadolu Agency)

Warga Utara Israel Mengamuk

Terkait ujaran Yoav Gallant yang menyinggung soal konfrontasi di front utara, warga di Israel utara mengamuk dan mengungkapkan kemarahannya kepada pemerintah.

Mereka merasa serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke Lebanon akhir pekan lalu “tidak mencukupi”. Di samping itu, mereka mengaku “ditelantarkan”.

Adapun serangan itu adalah balasan Israel atas serangan besar kelompok Hizbullah di Lebanon.

Hizbullah menyerang Israel pada hari Minggu, (25/8/2024), pukul 05.00 waktu setempat. Ribuan roket dan pesawat nirawak dikerahkan dalam serangan itu.

Beberapa kepala daerah di Israel utara sudah bertemu dengan Menteri Pendidikan Yoav Kisch dan Kepala Komando Front Dalam Negeri pada hari Senin, (26/8/2024).

Seharusnya saat ini tahun baru ajaran sekolah di Israel dimulai. Kini kepala daerah di sana harus segera memutuskan apakah akan kembali membuka sekolah.

Ketua Dewan Regional Mateh Asher, Moshe Davidovitch, mengungkapkan kemarahannya kepada Menteri Pendidikan Kisch.

Davidovitch mengklaim tidak akan membuka sekolah hingga militer Israel bisa memastikan keamanan warga Israel utara.

“Saya sudah muak dengan pertunjukan itu. Kita tidak akan memulai tahun ajaran sekolah di tempat yang tidak terlindungi. Penduduk akan menderita [karena keputusan ini], tetapi kemudian mereka akan berterima kasih karena tidak ada yang terluka. Kemarin kalian [pemerintahan Benjamin Netanyahu] menunjukkan kepada kami betapa kalian menganggap rendah kami,” ujar Davidovitch dikutip dari The Cradle.

Dia mengatakan pemerintah Israel tak akan pernah dimaafkan atas hal itu.

“Fakta bahwa kalian meninggalkan kami dan membakar kami hidup-hidup akan tercatat. Kalian menelantarkan kami dan melemparkan kami kepada anjing.”

Davidovitch mengklaim dia tak akan berkomunikasi lagi dengan pemerintah Israel.

Sementara itu, perwakilan Kementerian Pendidikan berujar kepada para kepala daerah bahwa warga mereka akan mendapat bantuan berdasarkan kebutuhan tiap individu.

Sebagian besar pemukiman di Israel utara sudah dievakusi setelah Hizbullah mulai menyerang Israel tanggal 8 Oktober 2023.

Para pemimpin politik dan militer Israel kini ditekan agar menghentikan serangan Hizbullah yang menargetkan infrastruktur militer di dekat perbatasan Israel-Lebanon.

Pada bulan Juni lalu Kisch sudah meminta IDF untuk menduduki Lebanon selatan dan melakukan pembersihan etnis di sana.

“Sudah tiba waktunya untuk memulai perang besar melawan Hizbullah. Untuk memindahkan 400.000 penduduk ke Lebanon selatan, ke seberang Sungai Litani,” kata Kisch kepada Channel 13.

Sementara itu, Hizbullah berusaha membuat Israel membayar mahal atas serangannya di Gaza.

Saat ini sudah ada lebih dari 40.000 warga Palestina di Gaza yang tewas karena serangan Israel. Sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

KIRYAT SHMONA, ISRAEL - 04 JULI: Asap mengepul setelah serangan roket Hizbullah di Kiryat Shmona, Israel pada 04 Juli 2024. Hizbullah menembakkan lebih dari 200 roket ke Israel utara, kata kelompok Lebanon itu pada Kamis, sehari setelah tewasnya seorang komandan militer tinggi dalam serangan udara Israel. (Mostafa Alkhrouf / ANADOLU / Anadolu via AFP)

Adapun 90 persen warga Gaza dilaporkan menjadi pengungsi. Mereka kerap diminta Israel untuk mengevakuasi diri.

Sementara itu, pada bulan Mei kajian dari Kampus Akademik Tel Hai di Israel menyatakan ada sekitar 40 persen pemukim di Israel utara mempertimbangkan untuk tidak kembali ke rumah mereka jika perang sudah berakhir.

Pemerintah Israel mengevakuasi pemukim itu dan menempatkan mereka di dalam hotel-hotel selama lebih dari tujuh bulan.

Baca juga: Media Israel: 2.150 Warga Terluka oleh Rudal Hizbullah, Sistem Radar Rusak, Serangan Iran Menyusul?

Meski demikian, masih ada beberapa pemukim yang memilih untuk tidak mengevakuasi diri.

Mereka tetap tinggal di pemukiman di dekat zona tempur dan menghadapi ancaman roket serta invasi darat Hizbullah.

Serangan Israel Tak Mengubah Situasi

Kelompok Lobi 1701 yang mewakili penduduk Israel utara mengatakan serangan IDF belum bisa mengubah situasi di Israel utara.

“Pagi ini kami mendapati kenyataan yang jelas: Suatu serangan pencegahan untuk menyingkirkan ancaman terhadap warga [Israel] tengah, ya. Melanjutkan serangan pencegahan dan menyingkirkan ancaman terhadap warga di utara, tidak,” tulis Lobbi 1701 dikutip dari laporan All Israel News hari Senin, (26/8/2024).

Awalnya IDF menyatakan serangan itu dilakukan untuk mencegah serangan ke Israel tengah. Namun, kemudian muncul pernyataan yang mengonfirmasi bahwa sebagian besar peluncur roket itu menargetkan Galilea di Israel utara.

“IDF menghancurkan ribuan roket jarak dekat, semuanya dirancang untuk menyerang warga kita dan pasukan kita di Galilea. IDF juga menangkis semua pesawat nirawak yang mengarah ke target strategus di tengah negara ini,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu malam.

Warga Israel utara ramai-ramai mengkritik pemerintah Israel. Mereka menyebut tidak ada “serangan pencegahan” yang dilakukan Israel saat warga Israel utara menghadapi ancaman rudal selama berbulan-bulan.

Lobi 1701 menyebut kebijakan pemerintah Israel itu sebagai “tindakan pengecut”.

“Tindakan pengecut dan sebuah serangan terhadap ide Zionis, yang dibuat oleh pemerintah dan resmi mengubah kami menjadi warga negara kelas dua,” kata kelompok itu.

“Penduduk di utara yang kini menghadapi ratusan roket bertanya satu pertanyaan sederhana: Mengapa tidak melanjutkan inisiatif itu dan juga menyingkirkan ancaman terhadap penduduk di utara, siapa yang mengisap ribuan rudal selama 10 bulan?”

(oln/khbrn/KAN/YA/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini