Tercatat sejak Oktober hingga Juli kemarin defisit atau pengeluaran negara membengkak mencapai 8,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menurut laporan Al Mayadeen dalam 12 bulan terakhir pengeluaran Israel melonjak jadi 8,5 miliar shekel atau naik 2,2 miliar dolar AS.
Angka tersebut melesat jauh dari target defisit Israel di tahun 2024 yang hanya dipatok 6,6 persen.
“Meningkatnya pengeluaran terkait keamanan dan sipil, memicu pengeluaran publik mencapai 49,4 miliar shakel pada bulan Juli, hingga pengeluaran tahun terkait perang sejak 7 Oktober telah membengkak mencapai 88,4 miliar shekel,” ujar laporan Al Mayadeen.
Adapun defisit fiskal mulai dirasakan Israel setelah negara zionis ini meningkatnya pengeluaran terkait perang, untuk membeli perlengkapan dan alat tempur serta membiayai perekrutan tentara cadangan yang akan dikirim ke Gaza melawan serangan kelompok Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu berdalih penambahan anggaran perang yang dilakukan Netanyahu dapat memperkuat benteng pertahanan Israel dalam melawan musuh.
Namun pembengkakan biaya belanja pertahanan tanpa melakukan penyesuaian pos anggaran bisa berpotensi merugikan ekonomi negara.
Terlebih belakangan ini kondisi ekonomi Israel tengah dilanda krisis akibat hilangnya pendapatan penduduk di dekat perbatasan Gaza dan Lebanon buntut dari perang.
Tak hanya itu, surat kabar Israel Maariv mencatat setidaknya sudah ada 46.000 perusahaan Israel yang bangkrut dan gulung tikar sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.
Situasi semakin tegang dengan adanya kemungkinan balasan Iran terhadap rezim tersebut, yang telah mendorong banyak pemangku kepentingan untuk menarik investasi mereka.
Israel Sesumbar Ekonominya Kuat
Imbas pembengkakan anggaran perang, banyak pihak menilai negara Zionis ini akan jatuh ke jurang inflasi.
Kendati menghadapi kritikan pedas, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dengan tegas menyatakan bahwa perekonomian Israel kuat dalam segala hal.
Menurutnya pemangkasan peringkat yang dilakukan Moody's dan Fitch mencerminkan kurangnya kepercayaan pada keamanan dan kekuatan nasional Israel.
Hal senada juga dilontarkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa ekonomi Israel masih kuat, setelah perang berakhir peringkat tersebut akan naik sekali lagi.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)