News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’

Salah satunya adalah Uchikowati Fauzia, generasi kedua dari korban Peristiwa 1965. Ibunya ditahan selama tujuh tahun tanpa diadili karena dianggap terlibat G30.

Uchikowati yang berjuang melawan stigma dan trauma 65 lewat lagu mengatakan Soeharto mendirikan Orde Baru di atas “darah rakyatnya sendiri”.

“Soeharto memulai kekuasaan 32 tahun diawali dengan memenjarakan hingga membunuh rakyatnya sendiri, baik perempuan hingga anak-anak. Keluarga menjadi berantakan, tidak punya masa depan, satu generasi hilang. Generasi saya tidak punya masa depan yang baik,” katanya.

Selain Peristiwa 65, kata Uchikowati, Soeharto juga disebut terlibat dalam Peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Petrus hingga Tragedi 1998.

“Tidak ada pahlawan yang membunuh rakyatnya sendiri. Ini Soeharto ada 12 kasus pelanggaran HAM berat. Berapa nyawa yang hilang di tangannya? Dan itu rakyatnya sendiri yang harusnya dilindungi,” ujarnya.

Untuk itu, Uchikowati melihat keputusan MPR dan upaya memberikan gelar pahlawan ke Soeharto adalah sebuah penghinaan bagi para korban.

“Saya tidak bisa menerima keputusan [MPR]. Itu sebuah penghinaan karena tidak mengembalikan martabat kami, tidak memanusiakan korban sebagai manusia,” katanya yang merupakan anggota Dialita, yang berarti “di atas lima puluh tahun”, kelompok paduan suara yang beranggotakan para penyintas Peristiwa 65.

Bukan merevisi TAP MPR No.11, kata Uchikowati, MPR seharusnya mencabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966 yang membuat penyintas dan keturunan mereka mengalami diskriminasi hingga stigmatisasi “seumur hidup”.

TAP MPRS No. 25 mengatur tentang ‘Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme’.

Pipit Ambarmirah, yang ibunya 'diasingkan' ke Inrehab Plantungan dan ayahnya dibuang ke Pulau Buru selama belasan tahun lantaran dituduh PKI, mengatakan, keputusan MPR dan wacana gelar pahlawan itu sebagai sebuah ironi.

Ironi karena di saat para korban terus berjuang melawan stigmatisasi dan diskriminasi akibat 65, “Nama Soeharto sebagai aktor yang paling bertanggung jawab malah ingin dibaikkan”, kata Pipit.

“Soeharto itu bukan pahlawan, dia penjahat. Ketika dia menjadi pahlawan maka apa yang dilakukan dengan membunuh dan memenjarakan banyak orang hingga menghancurkan hidup satu generasi, itu menjadi tidak apa-apa,” katanya.

Pipit mengatakan yang lebih parah dari keputusan itu adalah sebuah pembenaran atas ‘dosa-dosa’ masa lalu Soeharto yang berdampak pada praktik impunitas semakin kuat di masa depan.

 

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini