Dan setiap kali menggelar acara diskusi tatap muka tak pernah meminta izin.
Itu mengapa Refly keberatan dengan ucapan Kapolsek Mampang, Edy Purwanto, yang menyampaikan bahwa acara FTA tidak berizin sehingga membuat polisi tidak menduga akan ada sekelompok orang tak dikenal masuk ke ruangan dan memaksa diskusi dibubarkan dan melakukan pengerusakan.
"Polisi kok enggak ngerti aturan? Yang namanya kebebasan berkumpul dan berserikat tidak perlu izin. Hal itu dilindungi oleh konstitusi. Yang perlu hanya pemberitahuan, itu pun unjuk rasa di ruangan terbuka," jelas Refly.
"Sedangkan kami di dalam ruangan yang resmi. Lama-lama negara ini jadi otoriter kalau besok-besok talkshow [gelar wicara] di televisi atau podcast [siniar] harus izin."
Selain dituduh tak berizin, Refly juga menolak tudingan bahwa diskusi Forum Tanah Air memecah belah persatuan.
Refly mengatakan perbedaan pendapat tak bisa dikatakan memecah belah.
"Pernyataan sontoloyo itu. Memuji dan mengkritik pemerintah sama nilainya. Itu lah hakekat demokrasi, sama-sama harus dihormati," ungkapnya.
"Lagian memecah belah dari mana? Diskusinya saja belum dimulai sudah mencap memecah belah karena dihadiri orang-orang kritis."
Perwakilan Forum Tanah Air, sebutnya, tidak akan membuat laporan resmi soal pembubaran maupun aksi pengerusakan ke kepolisian karena menganggap tindakan itu adalah delik umum, bukan delik aduan.
Selain itu, perbuatan kelompok tersebut terjadi "di depan hidung polisi" sehingga tinggal bagaimana aparat menindak, ujar Refly.
Yang pasti, dia meminta agar kepolisian tidak hanya menjerat para pelaku dengan pasal-pasal ringan, tapi juga yang terkait dengan tindak pidana lebih berat.
"Sekarang apakah polisi menganggap gangguan serius ini pelanggaran terhadap konstitusi atau aksi premanisme biasa?"
"Kalau saya menganggap ini bukan tindak pidana ringan. Ini tindak pidana politik."