Ahli Militer: Israel Superior Secara Militer Tapi Tak Punya Visi Jelas Hadapi Iran, Lebanon, Gaza, Irak, dan Suriah
TRIBUNNEWS.COM - Satu tahun setelah Operasi Banjir Al Aqsa Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel telah terlibat dalam perang multi-front yang mencakup Iran, Lebanon, Gaza, Irak, dan Suriah.
Dalam menghadapi perang multi-front tersebut, Israel dinilai memiliki keunggulan militer namun tidak memiliki visi strategis jangka panjang yang jelas untuk mengakhiri konflik di Timur Tengah, menurut para ahli keamanan.
Baca juga: Hizbullah Pukul Mundur Pasukan Israel yang Menyusup ke Posisi UNIFIL, Ingkar Janji Soal Gaza?
Pada Selasa (8/10/2024), Israel menyatakan kalau militernya memperluas invasi daratnya di Lebanon dengan menambahkan divisi keempat satuan ketentaraan mereka (IDF).
Sementara itu, Israel juga telah mengintensifkan serangan udaranya di Gaza dan Lebanon, termasuk pada pekan ini yang mengenai target intelijen Hizbullah dan fasilitas penyimpanan senjata Hizbullah di wilayah Beirut.
Hal ini juga dilakukan Israel dengan menimbang serangan balik terhadap Iran sebagai tanggapan atas serangan rudal balistik pekan lalu.
Target yang diincar Israel atas Iran disebut-sebut bisa berupa situs nuklir, fasilitas minyak, dan pangkalan militer.
"Jelas, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah mencapai serangkaian keuntungan taktis dalam beberapa pekan terakhir, tetapi mereka masih tidak memiliki strategi militer yang jelas," kata Burcu Ozcelik, analis keamanan dan geopolitik, dilansir BI, Rabu (9/10/2024).
Burcu Ozcelik, seorang peneliti senior untuk Keamanan Timur Tengah di Royal United Services Institute, mengatakan semakin lama operasi militer Israel berlanjut, semakin “mendesak” bagi Israel untuk mengartikulasikan bagaimana negara tersebut harus menskenariokan berakhirnya perang.
“Ada kurangnya koherensi strategis di semua sisi dalam konflik multi-front ini,” katanya kepada BI.
Target Perang Netanyahu
Dalam sebuah pidato video pada Senin, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim Israel mulai mencapai tujuan perangnya setahun setelah serangan Hamas.
Netanyahu mengatakan Israel punya target untuk menggulingkan pemerintahan Hamas, membawa semua sandera Israel pulang, menghilangkan ancaman dari Gaza ke Israel, dan mengembalikan semua penduduk Israel selatan dan utara dengan selamat ke rumah mereka.
Namun, Bashir Abbas, seorang pengamat di Stimson Center, mengatakan kalau Israel jauh dari target keamanan nasional yang mereka dengungkan.
“Bahkan di Gaza, Israel sama sekali tidak mengartikulasikan strategi jangka panjang untuk keamanan Israel, sama sekali, selain memusnahkan Hamas – yang hampir tidak mungkin dilakukan sepenuhnya mengingat sifat kelompok perlawanan.”
“Anda tidak bisa hanya mengebom Hamas agar dilupakan dan menghancurkannya,” kata Chris Doyle, direktur Dewan LSM Arab British Understanding.
Dia menyatakan, Israel memang dapat menurunkan kemampuan Hamas baik secara militer maupun secara pengaruh, namun pada akhirnya, “bagaimana Israel akan hidup berdampingan dengan 7 juta orang Palestina setelah semua yang telah mereka lakukan untuk itu?”
“Harus ada yang mendukungnya, kesepakatan dan strategi politik – itu berarti gencatan senjata yang disepakati,” katanya.
Doyle membuat poin yang sama untuk kelompok milisi Hizbullah yang berbasis di Lebanon.
“Israel menginvasi Lebanon pada 1978 dan 1982, konsekuensinya adalah pembentukan Hizbullah 42 tahun kemudian,” katanya.
“Mereka tidak hanya memerangi Hizbullah, tetapi mereka memerangi sebuah organisasi yang sekarang menjadi negara dalam sebuah negara dengan gudang besar rudal dari segala macam jenis,” tambahnya.
Terjebak di Escalatory Trap
Anthony Pfaff, direktur Institut Studi Strategis di US Army War College, mengatakan pada Agustus lalu kalau Israel mungkin terjebak dalam apa yang disebutnya sebagai escalatory trap, perangkap yang menjebak dalam eskalasi yang kian meninggi.
Artinya, jika Israel meningkatkan terus pengerahan dan cara-cara militer, tulis Pfaff, itu memicu spiral eskalasi yang bisa, pada titik tertentu, melebihi kemampuan militer Israel untuk dihadapi.”
Namun, jika memilih status quo, Israel seolah hanya melakukan sedikit perbaikian atas situasi keamanannya.
"Tidak ada hasil yang mencapai tujuan keamanan Israel, yang akan mewakili kekalahan bagi IDF dan dapat mengancam kelangsungan hidup pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu," kata Pfaff.
Masalahnya mungkin adalah bahwa doktrin keamanan Israel telah lama didasarkan pada perang pendek.
Seperti yang ditunjukkan The Guardian, kebalikannya sekarang telah terjadi.
Tak satu pun dari operasi IDF “datang sebagai bagian dari strategi yang jelas dengan tujuan yang dapat dicapai yang pada akhirnya akan membawa kemampuan dan perdamaian yang lebih besar bagi Israel, kepada warga sipil Israel,” kata Doyle.
Sebaliknya, dia mengatakan itu “meningkatkan konflik, tetapi tanpa perasaan yang jelas bahwa ada jalan keluar.”
Konflik yang semakin berlarut-larut telah memicu kekhawatiran perang besar-besaran di Timur Tengah, yang dapat memicu inflasi dan menyebabkan penurunan ekonomi global.
Pekan lalu, Israel Moody menurunkan peringkat kredit Israel, dengan alasan meningkatnya ketegangan, ketidakpastian ekonomi, dan potensi eskalasi menjadi konflik skala penuh.
Sebelum serangan Israel ke Lebanon bulan lalu, menteri keuangan Israel menggambarkan perang itu sebagai konflik “terpanjang” dan “termahal” dalam sejarah Israel.
Israel mengeluarkan sekitar 54 miliar AS hingga 68 miliar AS dalam nomenklatur "biaya langsung” perang.
Bank of Israel memperkirakan pada bulan Mei bahwa biaya yang timbul dari perang akan berjumlah sekitar $ 66 miliar hingga akhir tahun depan – setara dengan sekitar 12 persen dari PDB Israel, per CNN.
Apakah Pemilu AS akan Mengubah Keadaan?
Sikap Netanyahu terhadap kesepakatan damai mungkin bergantung pada siapa yang memenangkan pemilihan presiden AS pada bulan November, kata Edmund Fitton-Brown, penasihat senior untuk Proyek Kontra Ekstremisme.
Jika mantan presiden Donald Trump yang menang, dia akan memberi Netanyahu “carte blanche” (kebebasan penuh) untuk melakukan segalanya dengan persyaratannya sendiri.
Sedangkan jika Wakil Presiden Kamala Harris yang menang pemilu, dia akan mendorong “sikap konstruktif terhadap gencatan senjata dan proses perdamaian,” katanya.
“Saya pikir kita jauh lebih dekat dengan awal konflik ini daripada yang kita hadapi,” kata mantan kepala stasiun CIA Daniel Hoffman kepada Fox Business, Senin.
“Akan ada pemerintahan baru, dan itu akan memiliki banyak implikasi pada strategi kami.”
(oln/BI/*)