Media Israel meluncurkan kampanye propaganda melawan Hamas, menyebarkan klaim palsu tentang pejuang perlawanan Palestina, termasuk tuduhan pemenggalan kepala anak-anak dan rudapaksa terhadap wanita Israel.
Klaim-klaim ini diperkuat oleh Washington dan sekutu Barat lainnya dari Tel Aviv.
Tetapi, begitu kebenaran terungkap, media yang menyebarkan kebohongan ini menjadi bungkam.
Ketika kebrutalan Israel di Gaza meningkat, rekaman CCTV dari penjara terkenal Sde Teman di Israel muncul, menunjukkan tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyerang seorang tahanan Palestina.
Terlebih lagi, Israel tidak hanya gagal membenarkan agresinya terhadap Gaza, tetapi perundingan normalisasi antara Tel Aviv dan beberapa negara Arab juga terhenti.
Sebab, tekanan publik terhadap para pemimpin negara-negara Arab tersebut meningkat.
Publik mendesak untuk menghentikan normalisasi dengan Israel yang tercemar oleh darah orang tak berdosa.
Di bidang hukum, Tel Aviv menghadapi dampak lebih lanjut ketika Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada Desember 2023, karena melanggar Konvensi Genosida 1948.
Posisi internasional Israel semakin melemah karena banyak negara menyerukan "embargo senjata" terhadapnya, termasuk beberapa sekutu utama di Barat, seperti Prancis.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyerukan "solusi politik" dan mendesak penghentian pengiriman senjata yang tidak diterima dengan baik oleh Netanyahu dan para menterinya.
Selain itu, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) secara signifikan memperdalam isolasi global Israel dengan menargetkan koneksi ekonomi, budaya, dan politiknya.
Dengan mengadvokasi bisnis, universitas, dan pemerintah untuk memutuskan hubungan dengan Israel atas agresinya di Palestina, BDS telah menekan aktor asing untuk menjauhkan diri dari rezim Israel.
Bentuk perlawanan damai ini semakin mengintensifkan marginalisasi diplomatik Israel.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)