Seorang PRT asal Kenya lainnya juga menceritakan kisahnya kepada BBC.
Fanaka, 24, mengaku bahwa dia dikirim oleh agennya untuk bekerja di rumah yang berbeda-beda setiap dua bulan. Selama itu, dia terus menerus menderita sakit kepala.
“Saya sudah berusaha maksimal di tempat kerja, tapi tidak ada yang sempurna,” kata Fanaka.
Para PRT perempuan ini bercerita bahwa mereka menghadapi banyak cobaan ketika hidup di jalanan. Banyak tempat penampungan menolak mereka. Alasannya, tempat itu diperuntukkan bagi orang-orang Lebanon yang terlantar, bukan orang asing.
Ketiganya berhasil terhubung dengan Caritas Lebanon, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memberi bantuan dan perlindungan bagi pekerja migran sejak tahun 1994.
Dalam rekaman audio yang dikirim kepada BBC, para pekerja migran dari Sierra Leone mengatakan bahwa puluhan PRT masih terdampar di jalanan Beirut. Mereka sangat membutuhkan makanan.
Yang lainnya melaporkan kepada media lokal bahwa mereka ditolak masuk ke tempat penampungan yang dikelola pemerintah karena mereka bukan orang Lebanon.
BBC telah menghubungi pihak berwenang setempat yang menyangkal ada diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Sumber-sumber BBC di kementerian pendidikan menceritakan bahwa, “Tidak ada pusat penampungan khusus yang disediakan untuk PRT asing, namun pada saat yang sama, mereka belum pernah ditolak masuk.”
Beberapa PRT asing justru menghindari tempat penampungan resmi karena tidak memiliki dokumen hukum yang lengkap.
Kepala divisi perlindungan Caritas Lebanon, Hessen Sayah Korban, mengatakan lembaga ini kini menaungi sekitar 70 PRT migran. Sebagian besar dari mereka adalah ibu-ibu yang punya anak.
Menurut Hessen, mereka memerlukan dana tambahan untuk bisa menyediakan tempat penampungan bagi 250 PRT.
Mereka semua ditinggalkan oleh majikan mereka. Ada juga yang menjadi tunawisma dan dokumen resmi mereka disita.