Pada bulan Februari 2024, Al-Hayya memimpin delegasi Hamas ke Mesir untuk menyelesaikan pembicaraan mengenai gencatan senjata di Gaza, sebagai bagian dari upaya internasional untuk menenangkan situasi tegang di Jalur Gaza.
5. Khaled Mishal
Khaled Meshaal adalah salah satu pendiri terkemuka gerakan Hamas.
Ia menjabat sebagai kepala biro politik gerakan tersebut dari tahun 1996 hingga 2017, dan mengambil alih kepemimpinan gerakan tersebut setelah pembunuhan Sheikh Ahmed Yassin di tangan Israel pada bulan Maret 2004.
Sepanjang hidupnya, Meshaal mengabdikan upayanya untuk melayani perjuangan Palestina, menganggap perlawanan bersenjata dan perjuangan politik sebagai hal yang penting untuk membebaskan tanah Palestina.
Dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sejak usia dini, dan berpartisipasi dalam pendirian gerakan Hamas pada tahun 1987.
Setelah pecahnya intifada Palestina pertama, gerakan tersebut memperoleh momentum besar, dan Meshaal menjadi anggota biro politiknya sejak didirikan.
Pada tahun 1996, Meshaal menjabat sebagai presiden biro politik Hamas, dan setelah pembunuhan Ahmed Yassin, ia menjadi pemimpin de facto gerakan tersebut.
Meshaal menjadi sasaran upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Mossad Israel di ibu kota Yordania, Amman, pada tahun 1997.
Namun upaya pembunuhan tersebut gagal setelah intervensi langsung dari Raja Hussein bin Talal yang menuntut Israel memberikan pengobatan untuk menyelamatkan nyawanya.
Meshaal pindah ke Qatar setelah pemerintah Yordania menutup kantor Hamas di Amman pada tahun 1999 dan menangkapnya dalam waktu singkat.
Kemudian, dia tinggal di Suriah untuk waktu yang lama sebelum kembali ke Qatar setelah krisis Suriah tahun 2012.
6. Mahmoud Al-Zahar
Mahmoud Al-Zahar dianggap sebagai salah satu tokoh paling ekstremis dalam gerakan Hamas, dan para pengamat menganggapnya sebagai salah satu "elang" gerakan tersebut.
Selama karirnya, ia menjadi sasaran beberapa upaya pembunuhan dan penangkapan oleh Israel dan Otoritas Palestina, menjadikannya salah satu tokoh yang terus-menerus berusaha dilikuidasi oleh Israel.
Al-Zahar tidak asing dengan penangkapan.
Israel menangkapnya pada tahun 1988, 6 bulan setelah berdirinya Hamas, dan mendeportasinya ke Marj al-Zuhur di Lebanon selatan pada tahun 1992 bersama dengan sejumlah pemimpin Hamas.
Otoritas Palestina juga menangkapnya pada tahun 1996, di mana ia menjadi sasaran penyiksaan berat, yang menyebabkan kesehatannya memburuk.
Setelah Hamas memenangkan pemilihan legislatif pada tahun 2005 dan Haniyeh menjadi perdana menteri, Al-Zahar menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di pemerintahan yang dibentuk oleh Hamas.
Saat ini, nasib Al-Zahar masih belum diketahui setelah ia menghilang dari pandangan sejak Operasi Banjir Al-Aqsa, dan baik Hamas maupun Israel belum mengeluarkan konfirmasi mengenai kondisinya.
7. Muhammad Syabana
Muhammad Shabana, yang dikenal sebagai “Abu Anas Shabana,” adalah salah satu komandan militer paling terkemuka di Brigade Izz al-Din al-Qassam.
Ia memimpin Batalyon Rafah di Jalur Gaza selatan.
Shabana dianggap sebagai salah satu nama utama yang dikaitkan dengan pengembangan jaringan terowongan serangan yang digunakan oleh Hamas, dan dia memainkan peran penting dalam memperkuat kemampuan militer gerakan tersebut.
Meskipun menjadi sasaran beberapa upaya pembunuhan, Shabana masih memainkan peran penting dalam operasi militer Hamas.
Dia dianggap sebagai salah satu tokoh berpengaruh yang diandalkan gerakan tersebut untuk menghadapi tantangan keamanan dan militer.
8. Rawhi Mushtaha
Rawhi Mushtaha dianggap sebagai salah satu sekutu terdekat Yahya Al-Sinwar, dan salah satu tokoh kepemimpinan paling terkemuka dalam gerakan Hamas.
Mushtaha berkontribusi dalam memperkuat kemampuan keamanan gerakan tersebut, yang membuatnya menjadi sasaran terus-menerus upaya pembunuhan Israel.
Israel membebaskannya pada tahun 2011 sebagai bagian dari kesepakatan Gilad Shalit yang terkenal, setelah bertahun-tahun ia menghabiskan waktu di penjara Israel.
Sejak itu, Mushtaha telah mengemban banyak tugas sensitif dalam gerakan tersebut, termasuk koordinasi keamanan antara Hamas dan pihak berwenang Mesir, khususnya mengenai penyeberangan Rafah dan banyak masalah keamanan lainnya yang berkaitan dengan perbatasan.
Sebelumnya ada laporan bahwa dia terbunuh dalam serangan udara Israel di Jalur Gaza pada bulan Oktober ini, namun Hamas tidak secara resmi mengkonfirmasi berita tersebut, dan nasibnya masih belum jelas.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)