TRIBUNNEWS.COM - Fethullah Gülen, yang menurut Ankara otak dari upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016, meninggal pada usia 83 tahun.
Dikutip dari Yeni Safak, Gulen meninggal di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), tempat ia tinggal.
Menyusul kematian Gulen, akun media sosial Organisasi Teroris Fetullah (FETO) dan anggotanya telah mengumumkan bahwa pemimpin mereka, Fetullah Gulen telah meninggal, Anadolu melaporkan.
Akun-akun yang berafiliasi dengan Organisasi Teroris Fetullah/Struktur Negara Paralel (FETO/PDY), termasuk keponakan Gulen, membagikan postingan yang menyatakan bahwa Gulen meninggal karena penyakit kardiovaskular.
Dalam pernyataan yang dimuat di Herkul.org, “Teman-teman terkasih, guru kami berjalan menuju cakrawala jiwanya pada pukul 21:20 malam tanggal 20 Oktober 2024, di rumah sakit tempat ia dirawat selama beberapa waktu.
Siapa Fetullah Gulen?
Dikutip dari EuroNews, Fetullah Gülen, lahir pada tanggal 27 April 1941 di Erzurum Pasinler, adalah seorang pengkhotbah dan imam.
Fethullah Gülen adalah seorang ulama, penulis, dan pendiri gerakan sosial yang dikenal sebagai Gerakan Gülen atau Hizmet.
Ia menjadi terkenal di luar negeri karena pandangannya tentang pendidikan, toleransi, dan dialog antaragama.
Gülen juga dikenal karena kritiknya terhadap pemerintah Turki, terutama terhadap rezim Recep Tayyip Erdoğan.
Organisasi Gulen dipimpin oleh Fetullah Gülen, yang telah tinggal di AS sejak 1999, dan didefinisikan sebagai "Organisasi Teroris Fetullah/Struktur Negara Paralel (FETO/PDY)" di Turki.
Dia dituduh membunuh Necip Hablemitoğlu, mengorganisir "kasus konspirasi" seperti Ergenekon, Sledgehammer, Poyrazköy dan Spionase Militer, yang menyebabkan Letnan Kolonel Ali Tatar melakukan bunuh diri, melakukan pembunuhan Hrant Dink, mengorganisir upaya kudeta pada 15 Juli, 2016, dan masih banyak tindak pidana lainnya.
Gulen, pemimpin kelompok tersebut, membantah semua tuduhan tersebut.
Kudeta Turki
Kudeta di Turki terjadi pada malam tanggal 15 Juli 2016.
Baca juga: Intelijen Turki Ringkus Seorang Anggota Al Qaeda di Afrika
Sejumlah militer yang menyebut diri mereka sebagai "Dewan Perdamaian" berusaha mengambil alih pemerintahan dengan melakukan tindakan seperti menutup jembatan, menyerbu stasiun televisi, dan mengklaim kontrol atas berbagai institusi pemerintah.