TRIBUNNEWS.com - Mantan Kepala Direktorat Intelijen Militer Israel, Tamir Hayman, mengungkapkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tengah mengalami krisis signifikan setelah lebih dari setahun menghadapi kelompok perlawanan di Gaza dan Lebanon.
Hayman mengungkapkan cadangan amunisi IDF menipis. Selain itu, IDF juga mengalami masalah kesiapan tentara cadangan dan tujuan strategis yang tidak jelas.
Ia mencatat, tujuan IDF ditentukan oleh pemerintah, namun belum terpenuhi hingga saat ini.
Tujuan itu, kata Hayman, termasuk soal memastikan kembalinya para pemukim Israel dengan selamat.
Menambah kritik terhadap IDF, Hayman mengungkapkan, beberapa warga Israel menggambarkan perjanjian gencatan senjata sebagai "penyerahan dan kepatuhan kepada Hizbullah," dilansir Al Mayadeen.
Lebih lanjut, Hayman justru memberikan pujian terhadap pejuang Hizbullah.
Ia menyoroti ketahanan dan efektivitas pejuang kelompok perlawanan Lebanon itu.
"Melalui pertempuran yang berani melawan tentara Israel, pejuang Hizbullah mewujudkan gagasan, di medan peranglah persamaan ditetapkan," ujar dia.
Selain Hayman, media The Economist juga menyoroti kegagalan militer Israel selama setahun lebih pertempuran di Lebanon dan Gaza.
"Setahun pertempuran telah memberikan tekanan yang sangat besar bagi tentara Israel," bunyi laporan itu.
The Economist menyoroti, banyak prajurit cadangan telah dipanggil untuk tugas jangka panjang dengan 54 persen dari mereka telah melakukan lebih dari 100 hari dinas.
Baca juga: Jebakan Hizbullah Berhasil, 6 Tank Merkava Israel Hancur, IDF Pilih Mundur dari Al-Bayyada
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyinggung soal tekanan yang dialami IDF.
Dalam pidatonya, Netanyahu mengatakan "tentara Israel butuh istirahat."
Pemukim Israel Utara Takut Kembali ke Rumah
Sebelumnya, Channel 12 Israel melaporkan pemukim di wilayah utara tak akan segera kembali ke rumah mereka masing-masing, meski gencatan senjata dengan Hizbullah telah terwujud, Rabu (27/11/2024).
Saluran itu mencatat serangan Hizbullah telah membuat pemukim Israel utara trauma dan dilema.
Banyak dari pemukim tak yakin, apakah ada tempat kembali untuk mereka.
Seorang komentator politik Israel di Kan Channel, menguraikan apa yang disebutnya sebagai "masalah" dalam perjanjian gencatan senjata dengan Lebanon.
Ia menilai Israel kekurangan zona penyangga untuk menjauhkan penduduk Lebanon selatan dari garis konfrontasi - khususnya perbatasan dengan Palestina yang diduduki - yang menurutnya penting untuk menjamin keamanan pemukim.
Komentator itu juga berpendapat, perjanjian gencatan senjata tak punya ketentuan yang jelas yang memungkinkan Israel untuk "menyerang Lebanon sebagai respons terhadap setiap pelanggaran.
"Perjanjian itu tidak menjamin hancurnya proyek ekonomi Hizbullah."
Baca juga: Hizbullah Sukses Sergap Pasukan Israel di Lebanon Selatan, Korban Berjatuhan, Tank Merkava Dibakar
"Lucu sekali, tentara Lebanon dan UNIFIL akan menegakkan perjanjian gencatan senjata itu di Lebanon selatan," tegasnya.
Lebanon Siapkan Tentara Siaga di Perbatasan
Sementara itu, militer Lebanon pada Rabu, mengatakan pihaknya sedang bersiap menyiagakan pasukan ke wilayah selatan, setelah gencatan senjata dengan Israel mulai berlaku.
Dalam sebuah pernyataan, militer Lebanon mengatakan berdasarkan permintaan pemerintah, tentara akan dikerahkan ke wilayah selatan dalam koordinasi dengan UNIFIL dan dalam pelaksanaan resolusi PBB 1701, dilansir Anadolu Ajansi.
Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menyerukan penghentian total permusuhan antara Hizbullah dan Israel dan pembentukan zona bebas senjata antara Garis Biru dan Sungai Litani di Lebanon selatan, dengan pengecualian untuk tentara Lebanon dan UNIFIL.
Tentara Lebanon mendesak warga untuk menunggu sebelum kembali ke desa dan kota garis depan "tempat musuh Israel masuk, menunggu penarikan mereka sesuai dengan perjanjian gencatan senjata."
Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah, berlaku beberapa jam setelah Presiden AS, Joe Biden, mengatakan proposal untuk mengakhiri konflik telah dicapai, di tengah harapan, proposal tersebut akan menghentikan serangan udara Israel terhadap kota-kota Lebanon dan mengakhiri pertempuran lintas perbatasan yang telah berlangsung selama setahun.
Lebih dari 3.760 orang tewas dalam serangan Israel di Lebanon dan lebih dari 1 juta orang mengungsi sejak Oktober lalu, menurut otoritas kesehatan Lebanon.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)